CINTA: HATI DAN DARAH
Pendahuluan
Cinta merupakan bagian dari realitas hidup setiap manusia. Sebagai bagian dari realitas hidup manusia, jutaan orang telah mengalami cinta dan jatuh cinta. Dengan cinta seseorang dapat mengalami sukacita dan kebahagiaan yang mendalam, dan sebaliknya dengan cinta pula seseorang bisa patah semangat, kehilangan pengharapan, dan lantas bunuh diri.
Cinta telah dikenal dalam setiap budaya, ada dalam semua bahasa dunia, dan dikenang dalam filsafat, sastra, dan seni. Demikian dalam kenyataannya, cinta telah diungkapkan dalam beragam bahasa dan simbol yang berbeda-beda untuk mengungkapkan kekayaan makna yang terkandung di dalamnya. Cinta ternyata mengandung banyak kekayaan dalam pengungkapan dan perwujudannya.Cinta dan Hati
Banyak bahasa dunia menghubungkan cinta dengan hati. Kata cinta dalam bahasa Indonesia sendiri erat kaitannya dengan hati. Ini terang dalam hubungannya dengan afeksi, kehangatan, asmara, dan kasih sayang. Demikian bila dikatakan bahwa seseorang mencintai orang tertentu, berarti bahwa yang bersangkutan menaruh hati, mengasihi, menyayangi, dan menyenangi orang yang dicintainya. Semua padanan kata ini jelas menghubungkan cinta dengan hati.
Hati juga berhubungan dengan jantung, batin, lubuk, dan nurani. Hati mengandung unsur afeksi, emosi, perasaan, dan sentimen. Hati menunjuk karakter, sifat, dan tabiat seseorang. Terhadap dua orang yang saling mencintai kerap dikatakan bahwa mereka “sehati”. Sehati berarti sehaluan, seia-sekata, sejalan, sepaham, sependirian, dan sepikiran.
Hati dalam konsep biblis merupakan inti diri manusia. Hati menjadi pusat segala sesuatu dalam diri manusia. Hati membentuk manusia yang berkepribadian. Dengan demikian, hati merupakan tempat kekuatan vital manusia dan sumber berbagai segi kepribadian manusia.
Dalam konteks moral, hati merupakan tempat yang tersembunyi (batin) yang diperlawankan dengan wajah atau bibir. Hati menjadi pusat yang menentukan keputusan-keputusan penting dari kesadaran moral, hukum yang tidak terlukis, dan tempat pertemuan dengan Allah.
Demikianlah kita melihat hubungan yang sangat erat antara cinta dengan hati. Ini membolehkan kita mengatakan bahwa mencintai berarti menaruh hati, mengasihi, dan menyayangi seseorang. Realitas cinta ini lahir dari inti terdalam diri manusia; yang berarti menyangkut seluruh diri manusia. Maka dengan mencintai berarti menyerahkan seluruh diri bagi orang yang dicintai tanpa reservasi untuk diri sendiri.
Cinta dan Darah
Bila banyak bahasa dunia menghubungkan cinta dengan hati, kiranya sedikit berbeda dengan bahasa Bajawa. Leluhur masyarakat Bajawa menghubungkan cinta dengan darah (ra’a). Ini jelas dalam ungkapan dari orang yang saling mencintai, ja’o ra’a bere ne’e gau, aku mencintaimu.
Ungkapan ra’a bere secara harafiah berarti darah yang mengalir. Mencintai dalam konteks ini berarti saling mengalirnya darah dari dua orang yang saling mencintai. Darah keduanya menyatu, satu dengan yang lainnya. Penyatuan darah kedua insan yang saling mencintai ini membentuk sebuah persekutuan hidup yang abadi.
Secara biologis, darah merupakan unsur fundamental dalam tubuh manusia. Seseorang yang kurang darah akan tampak pucat, lesu, dan kurang bergairah. Perlahan-lahan orang yang demikian akan mati karena kekurangan dan kehabisan darah.
Dalam konsep Perjanjian Lama, darah (Yunani: haïma) dihubungkan dengan kepasrahan yang hikmat kepada Allah akan hidup yang diserahkan, dipersembahkan, dan berubah. Im 17:1 mengaitkannya dengan “nyawa” makhluk yang ada dalam dan di dalam darahnya. Darah juga dihubungkan dengan pendamaian yang diperoleh lewat kematian korban.
Perjanjian Baru menghubungkannya dengan “darah Kristus”. Dengan mengurbankan/menumpahkan darah, Kristus menyerahkan hidup-Nya untuk memperdamaikan Allah dengan manusia, dan sebaliknya, manusia dengan Allah. Ini dapat dikaitkan pula dengan gagasan dalam Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus, di mana Kristus sebagai Kepala Tubuh (Suami) menyerahkan hidup-Nya bagi Gereja (istri).
Dari uraian di atas menjadi teranglah hubungan antara cinta dan darah. Dengan mencintai berarti menyerahkan dan mempersembahkan hidup bagi orang yang dicintai. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa mencintai berarti menghidupkan. Demikianlah ra’a bere harus dimengerti sebagai sebuah komitmen untuk memberikan hidup yang menghidupkan bagi orang yang dicintai. Mencintai berarti mau membahagiakan dan menghidupkan.
Cinta dalam Realitas Masa Kini
Dewasa ini kita bisa melihat atau mendengar bahwa dengan mudahnya orang mengatakan, “I love you, ja’o ra’a bere ne’e gau, aku mencintaimu”. Kata cinta diucapkan dengan mudah dan gampangan saja. Akhirnya, ungkapan cinta yang gampangan ini tidak berbuah dalam praksis hidup sehari-hari. Dengan demikian kata cinta kehilangan artinya yang mendalam.
Ini diperparah lagi dengan realitas hidup berkeluarga di mana katanya keluarga dibentuk atas dasar saling mencintai satu sama lain. Tak jarang kita melihat atau bahkan mengalami sendiri bahwa orang yang saling mencintai memperlakukan satu sama lain dengan semena-mena atau bahkan tidak manusiawi.
Korban utama dari realitas ini adalah wanita atau istri. Mereka diperlakukan semena-mena lewat beragam tindakan yang tidak terpuji seperti pemukulan, makian, dan beragam diskriminasi serta eksploitasi lainnya. [1]
Hal lain yang kerap disaksikan terjadi pula terhadap anak-anak yang katanya lahir sebagai buah cinta dari kedua orang tua yang saling mencintai. Tak jarang anak yang katanya lahir dari cinta itu ditelantarkan dan diperlakukan dengan kasar. Mereka kurang atau bahkan tidak mendapatkan perhatian dan cinta yang memadai. Mereka bertumbuh bak sebatang pohon di hutan belantara, yang tumbuh tanpa perhatian dan kasih yang menumbuhkan dan mendewasakan.
Aneh rasanya bila kita menghubungkan kedua realitas ini dengan cinta dalam gagasan hati dan darah di atas. Bila cinta lahir dari inti terdalam diri manusia, dan mencintai berarti memberi seluruh diri bagi yang dicintai, kok terjadi diskriminasi, eksploitasi, dan pengobyekan terhadap orang yang dicintai? Bila mencintai berarti memberi seluruh diri dan menghidupkan orang yang dicintai, mengapa ada penelantaran terhadap orang yang dicintai? Bukankah ini sebuah pengkerdilan dan pematian yang perlahan?
Kiranya banyak lagi realitas lain yang mengundang beragam pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut sebuah jawaban dan perealisasian cinta yang benar dalam hidup sehari-hari.
Bila seorang pemuda mencintai seorang pemudi, tentu akan ada bela rasa dan pengertian yang mendalam. Mereka akan saling menerima dan mengerti satu sama lain. Mereka kemudian seia atau sekata untuk mengikat diri dalam komitmen seumur hidup. Dan dalam proses selanjutnya, mereka akan saling memberikan diri. Mereka akan saling menghidupkan dan menyuburkan satu sama lain, termasuk bagi anak yang lahir sebagai buah cinta mereka.
Mungkin ini terlalu ideal dan begitu muluk rasanya. Namun pada kenyataannya, yang ideal itulah yang dicari dan mau diwujudkan oleh setiap manusia. Kita masing-masing dalam beragam cara dan situasi mau mencari dan mewujudkan sesuatu yang ideal dalam hidup kita. Ini berlaku juga dengan proses cinta dan mencintai. Pasangan muda-mudi, suami/istri, orang tua/anak dalam proses dan caranya hendak mewujudkan cinta yang ideal, yakni cinta yang saling memberikan diri dan cinta yang saling menghidupkan satu sama lain.
Penutup
Kahlil Gibran menulis, life without love is like a tree without blossom and fruit. Ungkapan ini mau mengatakan bahwa tak ada manusia yang dapat hidup tanpa cinta. Cinta merupakan bagian dari realitas hidup manusia. Dan sebagai bagian dari realitas hidup manusia, cinta telah diungkapkan dalam beragam cara dan bentuk.
Pengungkapan cinta jelas lewat simbol bahasa manusia yang nyata dalam ungkapan hati dan darah. Hati dan darah merupakan unsur hakiki dalam hidup manusia. Hati dan darah juga memiliki kesejajaran untuk mengungkapkan cinta yang sejati. Cinta sejati menuntut sebuah pemberian diri yang total kepada orang yang dicintai. Pada akhirnya pemberian diri ini akan menghidupkan/menyuburkan orang yang dicintai.
Dengan demikian gagasan ini merupakan sebuah ajakan agar kita dapat memaknai dan menghidupi cinta secara benar dalam beragam situasi hidup kita masing-masing. Kiranya pengungkapan cinta kita sungguh lahir dari kedalaman diri, yang kemudian mau memberikan diri sepenuhnya, dan pada akhirnya akan menghidupkan/menyuburkan orang yang dicintai.
Demikianlah pengalaman cinta dan mencintai akan mewarnai keseluruhan hidup kita, dan dengannya hidup kita akan senantiasa berbuah cinta yang saling membahagiakan dan menghidupkan siapa saja yang ada di sekitar hidup kita sehari-hari. Yang dengannya berarti bahwa hidup kita telah menampakkan cinta Tuhan sendiri. Atau dengan perkataan lain bahwa hidup kita telah menjadi perpanjangan cinta Tuhan yang nyata.
[1] Dewasa ini, UU perlindungan perempuan dan anak terasa lebih menjamin hak-hak perempuan dan anak. Namun demikian diharapkan agar perlakuan yang wajar dengan dasar cinta seharusnya lebih didorong daripada rasa takut terhadap UU itu sendiri.