NTT dan Masalah TKI
Andreas Neke
Pengamat Sosial, Tinggal di Bajawa-Flores-NTT
Dalam skala nasional, NTT dianggap sebagai pemasok TKI illegal terbanyak di Indonesia. Mantan Ketua DPR RI, yang juga merupakan mantan wakil rakyat dari daerah pemilihan NTT, Setya Novanto, dalam kunjungannya ke Kantor Pelayanan Terpadu TKI di Kupang pada November 2016 lalu pernah mengatakan bahwa jumlah TKI asal NTT di luar negeri mencapai satu juta orang. Dari jumlah tersebut, 800 ribu di antaranya adalah TKI illegal. Ini berarti bahwa 80 % dari jumlah seluruh TKI asal NTT adalah illegal.
Mayoritas TKI asal NTT bekerja di Malaysia. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada September 2016 lalu menyebutkan bahwa pengiriman TKI asal NTT lewat jalur resmi tercatat berkurang hingga 1.000 orang per tahun. Tahun 2016 misalnya, hanya ada 1.016 orang TKI asal NTT yang tercatat berangkat ke luar negeri. Sementara, pengiriman TKI lewat jalur illegal justru berpotensi terus meningkat. Hal ini tergambar dari semakin sering terjadinya kasus kematian dan kasus-kasus lain yang menimpa TKI illegal asal NTT.
Kepala BNP2TKI, Nusron Wahid, saat berkunjung ke NTT pada pertengahan tahun 2015 lalu menyebut bahwa dari aspek kualifikasi pendidikan, tercatat 99% TKI asal NTT yang bekerja di luar negeri adalah mereka yang hanya tamat SD dan SMP. Tanpa bermaksud mengurangi martabat kemanusiaan mereka, dapat kita bayangkan kualitas pendidikan ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas personal dan keahlian (skill) yang mereka miliki.
Adapun alasan TKI asal NTT lebih sering berangkat ke luar negeri lewat jalur illegal adalah karena ketiadaan kelengkapan dokumen yang dibutuhkan untuk berangkat ke luar negeri, misalnya KTP, Kartu Keluarga (KK), Passport, serta syarat-syarat lainnya. Sementara untuk mengurus hal-hal tersebut seringkali membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit pula. Ditambah lagi, para calon TKI pun seringkali masih ditipu atau diperas oleh oknum-oknum tertentu untuk melancarkan pengurusan dokumen-dokumen tersebut.
Alasan-alasan ini yang menyebabkan banyak TKI asal NTT yang lebih memilih calo dengan iming-iming keberangkatan yang aman dan tanpa perlu repot mengurus dokumen secara rumit. Padahal pada akhirnya tidak sedikit pula dari mereka yang ditipu dan diberangkatkan secara illegal dan selanjutnya mengalami beragam kerumitan lainnya dalam perjalanan. Tetapi karena sudah terlanjur, semua proses ini kemudian dijalani dalam keterpaksaan.
Saat ini terdapat banyak calo TKI yang beroperasi di NTT. Ada yang bahkan menawarkan jasanya secara langsung dari pintu ke pintu. Seringkali para calo tersebut adalah keluarga dari para TKI sendiri, yang dengan iming-iming tertentu dapat mempengaruhi keluarganya sendiri untuk berangkat menjadi TKI melalaui cara dan proses yang mudah, tetapi dengan akhir yang memilukan.
Bila merujuk fakta di lapangan, akan ditemukan beragam pengumuman perekrutan calon TKI dengan proses cepat dan biaya murah. Pengumuman perekrutan ini biasanya tertempel lengkap dengan nama beserta nomor HP para calo, yang bila ditelusuri lebih lanjut pasti akan ditemukan beragam kejanggalan dan kecurangan dalam prakteknya.
Masyarakat dan pemerintah tentunya tak dapat menutup mata terhadap realitas yang ada. Ditambah lagi fakta yang membuktikan bahwa tak sedikit pula dari para TKI ini yang kemudian meregang nyawa di “tanah asing”. Bermaksud memperoleh penghidupan yang lebih baik tetapi akhirnya berujung kemalangan yang tak dapat diperbaiki.
Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang, menyebut bahwa terdapat 49 orang TKI asal NTT yang meninggal pada tahun 2016 lalu, dan diketahui hanya 7 orang yang berangkat secara legal. Sedangkan BBC Indonesia, menyebutkan total terdapat 54 orang TKI asal NTT yang meninggal di luar negeri pada tahun tersebut. Sedangkan untuk 4 bulan pertama di tahun 2017 sudah ada 29 orang yang meninggal, dan yang memprihatinkan 27 orang di antaranya merupakan TKI illegal.
PILGUB dan Persoalan TKI NTT
Kesepahaman sejatinya tumbuh dalam benak setiap insan pecinta hidup manusia. Wujud kecintaan tersebut harus sudah lahir dalam momen PILGUB kali ini. Ada realitas teramat serius yang mengancam kemanusiaan, yang tentunya tak dapat dibiarkan berkembang demi cinta akan hidup dan kemanusiaan.
Pada tahapan pesta demokrasi kali ini rakyat selaku pemilik pesta demokrasi tidak bisa tidak harus teramat jeli merespons tiap visi, misi, dan program para calon pemimpin. Dalam konteks ini visi, misi, dan program para calon pemimpin NTT harus menjawab masalah konkret yang sedang melanda masyarakat NTT, termasuk masalah TKI illegal yang berasal dari NTT.
Masyarakat harus berani meminta kontrak politik kepada para calon pemimpin NTT untuk memutus persoalan TKI, termasuk memutus mata rantai calo TKI. Bahkan harus dengan tegas dan berani, meminta pembongkaran fenomena gunung es TKI ilegal NTT yang mengindikasikan keterlibatan oknum pemerintah dan aparat penegak hukum dalam persoalan ini.
Bersamaan dengan itu pula kerja sama dengan pemerintah melalui instansi terkait bersama masyarakat adat dan pemimpin religius (agama) harus digalakkan terus-menerus untuk penyadaran kepada masyarakat agar mencintai dan menghormati keberangkatan secara legal melalui proses yang benar, termasuk memfasilitasi pengurusan dokumen yang dimaksud agar semuanya dapat berjalan dengan baik.
Semua orang menghendaki kehidupan yang lebih baik dan menjanjikan. Keinginan ini tak dapat dibatasi oleh siapapun. Namun demikian, mengingat rendahnya mutu pendidikan NTT termasuk mutu pendidikan para calon TKI, sebuah upaya untuk mengatasi keterbatasan ini perlu diatasi melalui sebuah proses pelatihan dan kursus, baik dalam aspek komunikasi (bahasa) maupun keterampilan (skill) kerja.
Ini sangat beralasan mengingat kemampuan berkomunikasi (bahasa) menjadi sebuah prasyarat mutlak untuk berinteraksi dengan manusia dan masyarakat yang baru. Prasyarat berkomunikasi perlu dibarengi juga oleh kemampuan kerja (skill) yang menjadi sarat minimal yang dituntut sebuah tempat kerja. Tanpa kemampuan ini para TKI akan terjerat masalah serius yang akan berdampak personal dan sosial.
Bertalian dengan TKI ilegal yang sudah berada di “tanah asing” sejatinya perlu juga mendapat perhatian serius. Keseriusan tersebut mewujud pada aksi kerja sama dengan negara setempat untuk proses pendataan dan pengurusan dokumen agar nasib mereka menjadi lebih jelas. Bila proses ini tak dijalankan, yang kemudian adalah ketidakjelasan hidup yang berujung kematian tanpa status yang jelas.
Pada akhirnya sebuah fakta sosial yang juga teramat serius adalah tak sedikit dari para TKI yang pulang dengan membawa penyakit serius (HIV/AIDS) dan NARKOBA. Beberapa fakta di masyarakat membuktikan dengan kasat mata realitas ini. Biasanya masyarakat akan membicarakan realitas ini dengan sembunyi untuk menutupi aib yang sedang terjadi.
Sebagai makhluk pecinta hidup dan kehidupan, kita tentunya tak rela mengungkap aib seseorang. Namun demikian, sebuah fakta tak bisa juga didiamkan begitu saja. Justru sebagai sebuah pembelajaran bersama, realitas yang terjadi perlu dibicarakan dan dibahas bersama agar hal yang demikian tak berulang di masa mendatang.
Menyimak situasi yang terakhir ini, sebuah upaya serius juga perlu ditempuh. Upaya rehabilitasi kiranya perlu dibuat agar masyarakat lain tidak menerima dampak lanjutannya, dan serentak dengan itu pula, yang bersangkutan tidak mendapat luka psikis karena stigma negatif dari masyarakat.
Sejatinya semua upaya ini membutuhkan komitmen yang teramat serius dari rakyat sebagai pemilik pesta demokrasi dan calon pemimpinnya. Tanpa komitmen dari kedua belah pihak, pesta demokrasi layaknya sebuah perayaan tanpa makna, karena masyarakat tak memiliki kejelian untuk memilih calon pemimpin yang benar. Serentak dengan itu pula, pemimpin yang terpilih hanya akan menjalankan pemerintahan tanpa niat baik untuk memperbaiki situasi masyarakat, tetapi sekadar menjalankan status demi uang, materi, dan kehormatan semata.
Masyarakat NTT tentunya tak menginginkan hal yang demikian. Idealnya adalah pemimpin menjalankan roda pemerintahan demi kesejahteraan dan kebaikan masyarakat. Agar cita-cita ini dapat terealisasi dalam faktualitas keterpurukan NTT yang serba melekat dengan stigma negatif, masyarakat NTT sepatutnya memaknai dan merayakan pesta demokrasi kali ini dalam sebuah prinsip demi kebaikan NTT tercinta, tetapi bukan dalam nuansa politik identitas dan money politic yang menodai pesta demokrasi.
Andreas Neke
Pengamat Sosial, Tinggal di Bajawa-Flores-NTT
Dalam skala nasional, NTT dianggap sebagai pemasok TKI illegal terbanyak di Indonesia. Mantan Ketua DPR RI, yang juga merupakan mantan wakil rakyat dari daerah pemilihan NTT, Setya Novanto, dalam kunjungannya ke Kantor Pelayanan Terpadu TKI di Kupang pada November 2016 lalu pernah mengatakan bahwa jumlah TKI asal NTT di luar negeri mencapai satu juta orang. Dari jumlah tersebut, 800 ribu di antaranya adalah TKI illegal. Ini berarti bahwa 80 % dari jumlah seluruh TKI asal NTT adalah illegal.
Mayoritas TKI asal NTT bekerja di Malaysia. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) pada September 2016 lalu menyebutkan bahwa pengiriman TKI asal NTT lewat jalur resmi tercatat berkurang hingga 1.000 orang per tahun. Tahun 2016 misalnya, hanya ada 1.016 orang TKI asal NTT yang tercatat berangkat ke luar negeri. Sementara, pengiriman TKI lewat jalur illegal justru berpotensi terus meningkat. Hal ini tergambar dari semakin sering terjadinya kasus kematian dan kasus-kasus lain yang menimpa TKI illegal asal NTT.
Kepala BNP2TKI, Nusron Wahid, saat berkunjung ke NTT pada pertengahan tahun 2015 lalu menyebut bahwa dari aspek kualifikasi pendidikan, tercatat 99% TKI asal NTT yang bekerja di luar negeri adalah mereka yang hanya tamat SD dan SMP. Tanpa bermaksud mengurangi martabat kemanusiaan mereka, dapat kita bayangkan kualitas pendidikan ini akan sangat berpengaruh terhadap kualitas personal dan keahlian (skill) yang mereka miliki.
Adapun alasan TKI asal NTT lebih sering berangkat ke luar negeri lewat jalur illegal adalah karena ketiadaan kelengkapan dokumen yang dibutuhkan untuk berangkat ke luar negeri, misalnya KTP, Kartu Keluarga (KK), Passport, serta syarat-syarat lainnya. Sementara untuk mengurus hal-hal tersebut seringkali membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit pula. Ditambah lagi, para calon TKI pun seringkali masih ditipu atau diperas oleh oknum-oknum tertentu untuk melancarkan pengurusan dokumen-dokumen tersebut.
Alasan-alasan ini yang menyebabkan banyak TKI asal NTT yang lebih memilih calo dengan iming-iming keberangkatan yang aman dan tanpa perlu repot mengurus dokumen secara rumit. Padahal pada akhirnya tidak sedikit pula dari mereka yang ditipu dan diberangkatkan secara illegal dan selanjutnya mengalami beragam kerumitan lainnya dalam perjalanan. Tetapi karena sudah terlanjur, semua proses ini kemudian dijalani dalam keterpaksaan.
Saat ini terdapat banyak calo TKI yang beroperasi di NTT. Ada yang bahkan menawarkan jasanya secara langsung dari pintu ke pintu. Seringkali para calo tersebut adalah keluarga dari para TKI sendiri, yang dengan iming-iming tertentu dapat mempengaruhi keluarganya sendiri untuk berangkat menjadi TKI melalaui cara dan proses yang mudah, tetapi dengan akhir yang memilukan.
Bila merujuk fakta di lapangan, akan ditemukan beragam pengumuman perekrutan calon TKI dengan proses cepat dan biaya murah. Pengumuman perekrutan ini biasanya tertempel lengkap dengan nama beserta nomor HP para calo, yang bila ditelusuri lebih lanjut pasti akan ditemukan beragam kejanggalan dan kecurangan dalam prakteknya.
Masyarakat dan pemerintah tentunya tak dapat menutup mata terhadap realitas yang ada. Ditambah lagi fakta yang membuktikan bahwa tak sedikit pula dari para TKI ini yang kemudian meregang nyawa di “tanah asing”. Bermaksud memperoleh penghidupan yang lebih baik tetapi akhirnya berujung kemalangan yang tak dapat diperbaiki.
Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang, menyebut bahwa terdapat 49 orang TKI asal NTT yang meninggal pada tahun 2016 lalu, dan diketahui hanya 7 orang yang berangkat secara legal. Sedangkan BBC Indonesia, menyebutkan total terdapat 54 orang TKI asal NTT yang meninggal di luar negeri pada tahun tersebut. Sedangkan untuk 4 bulan pertama di tahun 2017 sudah ada 29 orang yang meninggal, dan yang memprihatinkan 27 orang di antaranya merupakan TKI illegal.
PILGUB dan Persoalan TKI NTT
Kesepahaman sejatinya tumbuh dalam benak setiap insan pecinta hidup manusia. Wujud kecintaan tersebut harus sudah lahir dalam momen PILGUB kali ini. Ada realitas teramat serius yang mengancam kemanusiaan, yang tentunya tak dapat dibiarkan berkembang demi cinta akan hidup dan kemanusiaan.
Pada tahapan pesta demokrasi kali ini rakyat selaku pemilik pesta demokrasi tidak bisa tidak harus teramat jeli merespons tiap visi, misi, dan program para calon pemimpin. Dalam konteks ini visi, misi, dan program para calon pemimpin NTT harus menjawab masalah konkret yang sedang melanda masyarakat NTT, termasuk masalah TKI illegal yang berasal dari NTT.
Masyarakat harus berani meminta kontrak politik kepada para calon pemimpin NTT untuk memutus persoalan TKI, termasuk memutus mata rantai calo TKI. Bahkan harus dengan tegas dan berani, meminta pembongkaran fenomena gunung es TKI ilegal NTT yang mengindikasikan keterlibatan oknum pemerintah dan aparat penegak hukum dalam persoalan ini.
Bersamaan dengan itu pula kerja sama dengan pemerintah melalui instansi terkait bersama masyarakat adat dan pemimpin religius (agama) harus digalakkan terus-menerus untuk penyadaran kepada masyarakat agar mencintai dan menghormati keberangkatan secara legal melalui proses yang benar, termasuk memfasilitasi pengurusan dokumen yang dimaksud agar semuanya dapat berjalan dengan baik.
Semua orang menghendaki kehidupan yang lebih baik dan menjanjikan. Keinginan ini tak dapat dibatasi oleh siapapun. Namun demikian, mengingat rendahnya mutu pendidikan NTT termasuk mutu pendidikan para calon TKI, sebuah upaya untuk mengatasi keterbatasan ini perlu diatasi melalui sebuah proses pelatihan dan kursus, baik dalam aspek komunikasi (bahasa) maupun keterampilan (skill) kerja.
Ini sangat beralasan mengingat kemampuan berkomunikasi (bahasa) menjadi sebuah prasyarat mutlak untuk berinteraksi dengan manusia dan masyarakat yang baru. Prasyarat berkomunikasi perlu dibarengi juga oleh kemampuan kerja (skill) yang menjadi sarat minimal yang dituntut sebuah tempat kerja. Tanpa kemampuan ini para TKI akan terjerat masalah serius yang akan berdampak personal dan sosial.
Bertalian dengan TKI ilegal yang sudah berada di “tanah asing” sejatinya perlu juga mendapat perhatian serius. Keseriusan tersebut mewujud pada aksi kerja sama dengan negara setempat untuk proses pendataan dan pengurusan dokumen agar nasib mereka menjadi lebih jelas. Bila proses ini tak dijalankan, yang kemudian adalah ketidakjelasan hidup yang berujung kematian tanpa status yang jelas.
Pada akhirnya sebuah fakta sosial yang juga teramat serius adalah tak sedikit dari para TKI yang pulang dengan membawa penyakit serius (HIV/AIDS) dan NARKOBA. Beberapa fakta di masyarakat membuktikan dengan kasat mata realitas ini. Biasanya masyarakat akan membicarakan realitas ini dengan sembunyi untuk menutupi aib yang sedang terjadi.
Sebagai makhluk pecinta hidup dan kehidupan, kita tentunya tak rela mengungkap aib seseorang. Namun demikian, sebuah fakta tak bisa juga didiamkan begitu saja. Justru sebagai sebuah pembelajaran bersama, realitas yang terjadi perlu dibicarakan dan dibahas bersama agar hal yang demikian tak berulang di masa mendatang.
Menyimak situasi yang terakhir ini, sebuah upaya serius juga perlu ditempuh. Upaya rehabilitasi kiranya perlu dibuat agar masyarakat lain tidak menerima dampak lanjutannya, dan serentak dengan itu pula, yang bersangkutan tidak mendapat luka psikis karena stigma negatif dari masyarakat.
Sejatinya semua upaya ini membutuhkan komitmen yang teramat serius dari rakyat sebagai pemilik pesta demokrasi dan calon pemimpinnya. Tanpa komitmen dari kedua belah pihak, pesta demokrasi layaknya sebuah perayaan tanpa makna, karena masyarakat tak memiliki kejelian untuk memilih calon pemimpin yang benar. Serentak dengan itu pula, pemimpin yang terpilih hanya akan menjalankan pemerintahan tanpa niat baik untuk memperbaiki situasi masyarakat, tetapi sekadar menjalankan status demi uang, materi, dan kehormatan semata.
Masyarakat NTT tentunya tak menginginkan hal yang demikian. Idealnya adalah pemimpin menjalankan roda pemerintahan demi kesejahteraan dan kebaikan masyarakat. Agar cita-cita ini dapat terealisasi dalam faktualitas keterpurukan NTT yang serba melekat dengan stigma negatif, masyarakat NTT sepatutnya memaknai dan merayakan pesta demokrasi kali ini dalam sebuah prinsip demi kebaikan NTT tercinta, tetapi bukan dalam nuansa politik identitas dan money politic yang menodai pesta demokrasi.