PRAKSIS POLITIK DALAM TAHUN POLITIK
Andreas Neke
Pengamat Sosial dan Politik, Tinggal di Padhawoli-Bajawa-Flores-NTT
Gema gong Pemilu pada tahun politik kali ini akan mencapai tahap-tahap akhir dalam waktu yang relatif amat singkat. Proses panjang dalam mengisi pesta demokrasi telah pula merekam beragam hal penting yang akan tercatat dalam sejarah perpolitikan nasional. Sejarah politik akan mencatat beberapa hal baru, baik menyangkut regulasi praktek politik nasional maupun menyangkut proses dalam mengisi pesta demokrasi yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Praksis politik pada tahun politik kali ini berbeda dengan momen tahun politik sebelumnya. Perbedaan tersebut menyangkut cara dan proses pemilihan. Ada beberapa fakta penting berkaitan dengan pelaksanaan pemilu serentak ini. Beberapa fakta tersebut antara lain pertama kali Pilpres dan Pileg serentak, biaya penyelenggaraan yang mencapai 24,8 triliun rupiah, terdiri dari 16 partai yang mencakup 4 partai baru dan 12 partai lama, pemilihan 1 presiden, 575 anggota DPR, 19.817 anggota DPRD, dan 187,7 juta pemilih.
Tak hanya itu saja, fakta lainnya adalah ada lima kertas suara dalam lima warna (abu-abu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, kuning untuk memilih anggota DPR RI, merah untuk memilih anggota DPD RI, biru untuk memilih anggota DPRD propinsi, dan hijau untuk memilih anggota DPRD kota/kabupaten), dan di antara para calon terdapat 38 mantan terpidana kasus korupsi.
Bersamaan dengan fakta-fakta baru tersebut, praksis mengisi tahun politik kali ini telah melahirkan pula beberapa praktek politik yang berseberangan dengan prinsip dasar demokrasi. Yang terjadi dalam proses demokrasi kali ini adalah praksis memperoleh kekuasaan dengan jalan mengedepankan politik identitas dan mengesampingkan kebenaran. Ini tentunya akan sangat berbahaya karena kekuasaan yang diperoleh dengan jalan mengedepankan politik identitas dan mengorbankan kebenaran akan melahirkan aktor penguasa yang manipulatif.
Praksis Politik
Pelaksanaan Pemilu serentak ini telah mengindikasikan beberapa praksis politik yang tidak mencerminkan pelaksanaan demokrasi sebagaimana mestinya. Ada dua praksis politik sebagai sebuah gerakan black power (kekuatan hitam) yang sangat membahayakan eksistensi politik dan demokrasi negara ini. Dua kekuatan hitam tersebut adalah manipulasi agama demi kepentingan politik dan penyebaran berita bohong untuk memperoleh kekuasaan.
Pertama, manipulasi agama. Sebuah kebenaran yang patut disebutkan bahwa agama berpengaruh sangat besar dalam perkembangan sejarah bangsa, termasuk dalam sejarah politik dan demokrasi bangsa. Agama adalah kekuatan politik yang sangat menyakinkan, sehingga telah melahirkan partai-partai politik yang bernafaskan agama dari waktu ke waktu dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda.
Tanpa bermaksud meniadakan agama-agama non-Islam, agama Islam sebagai agama mayoritas penduduk negara Indonesia telah mengembangakan dua warna pergerakan politiknya. Warna pertama adalah Islam konservatif yang berupaya memanfaatkan agama untuk memperoleh kekuatan politik agar terbentuknya negara Indonesia yang bernafaskan ajaran Islam, dan warna kedua adalah Islam moderat yang menggandeng agama sebagai sebuah gerakan politik untuk semata-mata memperoleh kekuasaan agar terciptanya NKRI tanpa harus mendirikan negara agama.
Representasi agama melalui konfigurasi kekuataan agama Islam sebagai agama mayoritas menjadi senjata andalan dalam praksis politik. Sebuah fakta sejarah yang masih sangat segar dalam ingatan adalah Pilgub DKI Jakarta. Namun kita patut menyadari bahwa penggiringan opini publik pada dimensi agama adalah sebuah upaya yang mengabaikan sensivitas pluralitas kebangsaan, karena negara ini adalah rumah untuk berbagai macam agama dan aliran kepercayaan.
Sejarah telah membuktikan bahwa para founding father/mother negara ini lebih berpikiran nasionalis sehingga kepentingan yang utama adalah NKRI, dengan mempertimbangkan bahwa NKRI adalah rumah bagi berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Di sini hidup dan berkembang juga agama-agama lain selain Islam. Mereka telah hidup bersama sebagai satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Dan, pemikiran pluralistik ini telah melanggengkan NKRI sampai saat ini.
Namun demikian, upaya memanfaatkan agama untuk kepentingan kekuasaan ternyata masih menggema. Gerakan memanfaatkan status agama mayoritas dengan memanfaatkan massa dan isu-isu agama telah mengemuka sejak Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu. Gerakan ini ternyata sangat berhasil untuk mendulang suara sehingga praksis politik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Politik identitas mengemuka sehingga mengebiri rasionalitas dan hati nurani rakyat selaku pemilik demokrasi.
Kedua, penyebaran berita hoax. Data per 15 Maret 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kementerian Kominfo) menyebut ada 62 konten hoax sepanjang Agustus sampai Desember 2018. Serentak dengan itu ada 800.000 situs penyebar berita hoax di Indonesia.
Sedangkan sepanjang 2019, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyebut bahwa perkembangan penyebarann hoax dari bulan ke bulan kian meningkat sepanjang mendekati Pemilu. Kenaikan signifikan terjadi pada bulan Februari 2019 dengan 350 lebih berita hoax yang beredar di media sosial. Dan, potensinya akan terus meningkat.
Mencermati informasi media masa, masyarakat tentu dapat menyimpulkan bahwa proses politik negara ini telah melenceng dari rel demokrasi. Demokrasi sejatinya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tetapi dalam pelaksanaannya rakyat menjadi korban dari permainan para aktor politik yang menggiring masyarakat pada ketidakbenaran dan ketidakjujuran.
Para aktor politik telah menggiring masyarakat ke dalam bingkai permainan kekuasaan, sehingga masyarakat terperangkap dalam permainan tersebut, dan merasa teramat berat untuk keluar dari permainan lumpur kekuasaan. Dan ini sepertinya telah membenarkan pernyataan bahwa sejarah adalah milik mereka yang memiliki akses dan aset ke dalam kekuasaan.
Manipulasi agama dan penyebaran berita bohong kurang mempertimbangkan sensivitas politik dari setiap kegiatan politik. Manipulasi agama melalui gerakan masa dan menggunakan isu-isu keagamaan justru telah meniadakan akal sehat dan hati nurani, sedangkan penyebaran berita hoax telah mengubur kebenaran sehingga meniadakan kebenaran untuk bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rasionalitas dan kebenaran tidak boleh kalah oleh badut-badut politik yang memanipulasi kebenaran dengan menggunakan trik-trik kotor. Kebenaran, rasionalitas, dan hati nurani harus menang atas badut-badut politik. Kita harus menyadari sedini mungkin bila para badut politik memperoleh kekuasaan, maka kita akan membayarnya dengan harga yang sangat mahal, yaitu benih perpecahan dan perselisihan yang akan melenyapkan NKRI dari peredaran sejarah.
Santun Berpolitik
Max Weber menjelaskan bahwa menjadi seorang politisi merupakan sebuah tugas jabatan dan panggilan. Politik dikatakan sebagai sebuah panggilan karena tidak semua orang bisa menjadi politisi, sedangkan menjadi sebuah tugas jabatan karena harus berjalan secara bertanggung jawab atas dasar moral, etika politik, dan aturan yang berlaku.
Gagasan ini amat perlu bagi para aktor politik. Mereka harus mendasari panggilan politis atas dasar prinsip moral dan etika. Politik tanpa berdasar pada kedua prinsip ini akan menjerumuskan para aktor politik untuk memperoleh kekuasaan dengan segala cara, dan akan pula menggunakan kekuasaan untuk semata-mata melanggengkan kekuasaan tersebut.
Prinsip demokrasi yang sehat adalah memperoleh kekuasaan dengan cara yang santun. Kesantunan berpolitik akan tampak dalam praksis politik yang sesuai dengan ketentuan konstitusi. Kiranya teramat penting untuk menyampaikan gagasan yang bersumber data demi kepentingan yang mengarah kepada kesejahteraan rakyat.
Menggunakan agama sebagai sarana politik kiranya kurang bijak dalam berpolitik mengingat bahaya yang menghantuinya teramat besar. Politik adalah area profan, sedangkan agama area religius yang mengatur relasi manusia dengan Yang Kuasa dan manusia dengan manusia yang memiliki keyakinan yang sama.
Ini berarti bahwa pemanfaatan area religius berarti memrofankan batas-batas religiusitas. Bahayanya adalah penyelewengan ajaran agama demi kepentingan politik sesaat. Konsekuensi terbesarnya adalah memperlebar jarak antara pemeluk agama yang berbeda karena cenderung ada nada pemaksaan kepentingan sepihak kepada yang lain.
Area politik adalah gagasan untuk kepentingan dan kebaikan bersama. Profanisasi agama akan memenangkan kelompok mayoritas dan mengalahkan kelompok minoritas. Politik sejatinya tidak berkaitan dengan kuantitas mayoritas vs minoritas, tetapi lebih dari itu adalah kualitas gagasan yang bersumber data untuk memperbaiki keadaan yang lebih baik di masa yang akan datang. Politik yang benar harus lepas dari isu mayoritas dan minoritas.
Pada dimensi lain, memperoleh kekuasaan dengan bersikap dan bertindak agresif dengan menyingkirkan siapa saja yang menjadi penghalang melalui upaya menyebarkan kebohongan merupakan pengebirian terhadap kebenaran. Sebuah kebenaran tetap adalah kebenaran, sedangkan sebuah kebohongan tetap adalah kebohongan. Sejarah akan membuktikan kebenaran dan kebohongan dalam waktu. Kebenaran pasti akan mengemuka dalam sejarah, karena sejarah adalah medan kebenaran.
Konsekuensi dari gagasan ini adalah praksis politik yang baik dan benar. Tuntutan dasarnya adalah menyatakan kebenaran yang mengarah pada kebaikan bersama. Politik harus jauh dari tujuan memperoleh kekuasaan semata-mata. Bahaya dari kekuasaan adalah penyimpangan dari kebenaran dan kebaikan dengan praktek manipulatif.
Politik yang santun bukan sekedar mengejar kekuasaan, tetapi lebih dari itu adalah sebuah upaya terus-menerus untuk menggapai kebaikan dan kesejahteraan bersama. Gagasan besar yang tercakup di dalamnya adalah upaya meraih kekuasaan dengan cara yang bertanggungjawab dan berdasar pada prinsip moral dan etika. Menggapai kekuasaan dengan menghalalkan segara cara, termasuk dengan menyebarkan kebohongan, pada puncaknya akan mewujudkan kekuasaan dengan kebohongan dan kepalsuan.
Para politisi sejatinya memiliki komitmen dan kompetensi untuk menjalakan tanggungjawab politis. Bersamaan dengan itu pula harus memiliki niat baik untuk mewujudkan good governance, memiliki sense of justice, dan memiliki sense of good. Tanpa cita rasa tersebut, praksis politik akan sekedar menjalankan kekuasaan demi kekuasaan itu semata-mata.
Selanjutnya bagi masyarakat sebagai pemilik demokrasi harus cerdas dalam memilih. Cerdas memilih dalam konteks ini berarti harus lepas dari politik identitas (termasuk agama) dan kebohongan. Daya filter akal budi dan hati nurani menjadi tumpuan dasarnya. Masyarakat harus mencintai kebenaran dan kebaikan dengan memilih para wakil rakyat yang baik dan benar.
Kita menyebutnya dengan terminologi cerdas berdemokrasi, yang berarti kemampuan masyarakat untuk tidak larut dalam isu-isu dangkal yang menyesatkan. Kecerdasan yang dimaksud akan lebih tampak dalam kesanggupan menguji visi, misi, dan program kerja yang terukur dari para calon politisi, agar memilih para calon yang kompeten demi kebaikan dan kesejahteraan massyarakat.
Andreas Neke
Pengamat Sosial dan Politik, Tinggal di Padhawoli-Bajawa-Flores-NTT
Gema gong Pemilu pada tahun politik kali ini akan mencapai tahap-tahap akhir dalam waktu yang relatif amat singkat. Proses panjang dalam mengisi pesta demokrasi telah pula merekam beragam hal penting yang akan tercatat dalam sejarah perpolitikan nasional. Sejarah politik akan mencatat beberapa hal baru, baik menyangkut regulasi praktek politik nasional maupun menyangkut proses dalam mengisi pesta demokrasi yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.
Praksis politik pada tahun politik kali ini berbeda dengan momen tahun politik sebelumnya. Perbedaan tersebut menyangkut cara dan proses pemilihan. Ada beberapa fakta penting berkaitan dengan pelaksanaan pemilu serentak ini. Beberapa fakta tersebut antara lain pertama kali Pilpres dan Pileg serentak, biaya penyelenggaraan yang mencapai 24,8 triliun rupiah, terdiri dari 16 partai yang mencakup 4 partai baru dan 12 partai lama, pemilihan 1 presiden, 575 anggota DPR, 19.817 anggota DPRD, dan 187,7 juta pemilih.
Tak hanya itu saja, fakta lainnya adalah ada lima kertas suara dalam lima warna (abu-abu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, kuning untuk memilih anggota DPR RI, merah untuk memilih anggota DPD RI, biru untuk memilih anggota DPRD propinsi, dan hijau untuk memilih anggota DPRD kota/kabupaten), dan di antara para calon terdapat 38 mantan terpidana kasus korupsi.
Bersamaan dengan fakta-fakta baru tersebut, praksis mengisi tahun politik kali ini telah melahirkan pula beberapa praktek politik yang berseberangan dengan prinsip dasar demokrasi. Yang terjadi dalam proses demokrasi kali ini adalah praksis memperoleh kekuasaan dengan jalan mengedepankan politik identitas dan mengesampingkan kebenaran. Ini tentunya akan sangat berbahaya karena kekuasaan yang diperoleh dengan jalan mengedepankan politik identitas dan mengorbankan kebenaran akan melahirkan aktor penguasa yang manipulatif.
Praksis Politik
Pelaksanaan Pemilu serentak ini telah mengindikasikan beberapa praksis politik yang tidak mencerminkan pelaksanaan demokrasi sebagaimana mestinya. Ada dua praksis politik sebagai sebuah gerakan black power (kekuatan hitam) yang sangat membahayakan eksistensi politik dan demokrasi negara ini. Dua kekuatan hitam tersebut adalah manipulasi agama demi kepentingan politik dan penyebaran berita bohong untuk memperoleh kekuasaan.
Pertama, manipulasi agama. Sebuah kebenaran yang patut disebutkan bahwa agama berpengaruh sangat besar dalam perkembangan sejarah bangsa, termasuk dalam sejarah politik dan demokrasi bangsa. Agama adalah kekuatan politik yang sangat menyakinkan, sehingga telah melahirkan partai-partai politik yang bernafaskan agama dari waktu ke waktu dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda.
Tanpa bermaksud meniadakan agama-agama non-Islam, agama Islam sebagai agama mayoritas penduduk negara Indonesia telah mengembangakan dua warna pergerakan politiknya. Warna pertama adalah Islam konservatif yang berupaya memanfaatkan agama untuk memperoleh kekuatan politik agar terbentuknya negara Indonesia yang bernafaskan ajaran Islam, dan warna kedua adalah Islam moderat yang menggandeng agama sebagai sebuah gerakan politik untuk semata-mata memperoleh kekuasaan agar terciptanya NKRI tanpa harus mendirikan negara agama.
Representasi agama melalui konfigurasi kekuataan agama Islam sebagai agama mayoritas menjadi senjata andalan dalam praksis politik. Sebuah fakta sejarah yang masih sangat segar dalam ingatan adalah Pilgub DKI Jakarta. Namun kita patut menyadari bahwa penggiringan opini publik pada dimensi agama adalah sebuah upaya yang mengabaikan sensivitas pluralitas kebangsaan, karena negara ini adalah rumah untuk berbagai macam agama dan aliran kepercayaan.
Sejarah telah membuktikan bahwa para founding father/mother negara ini lebih berpikiran nasionalis sehingga kepentingan yang utama adalah NKRI, dengan mempertimbangkan bahwa NKRI adalah rumah bagi berbagai macam agama dan aliran kepercayaan. Di sini hidup dan berkembang juga agama-agama lain selain Islam. Mereka telah hidup bersama sebagai satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Dan, pemikiran pluralistik ini telah melanggengkan NKRI sampai saat ini.
Namun demikian, upaya memanfaatkan agama untuk kepentingan kekuasaan ternyata masih menggema. Gerakan memanfaatkan status agama mayoritas dengan memanfaatkan massa dan isu-isu agama telah mengemuka sejak Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu. Gerakan ini ternyata sangat berhasil untuk mendulang suara sehingga praksis politik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Politik identitas mengemuka sehingga mengebiri rasionalitas dan hati nurani rakyat selaku pemilik demokrasi.
Kedua, penyebaran berita hoax. Data per 15 Maret 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kementerian Kominfo) menyebut ada 62 konten hoax sepanjang Agustus sampai Desember 2018. Serentak dengan itu ada 800.000 situs penyebar berita hoax di Indonesia.
Sedangkan sepanjang 2019, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyebut bahwa perkembangan penyebarann hoax dari bulan ke bulan kian meningkat sepanjang mendekati Pemilu. Kenaikan signifikan terjadi pada bulan Februari 2019 dengan 350 lebih berita hoax yang beredar di media sosial. Dan, potensinya akan terus meningkat.
Mencermati informasi media masa, masyarakat tentu dapat menyimpulkan bahwa proses politik negara ini telah melenceng dari rel demokrasi. Demokrasi sejatinya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tetapi dalam pelaksanaannya rakyat menjadi korban dari permainan para aktor politik yang menggiring masyarakat pada ketidakbenaran dan ketidakjujuran.
Para aktor politik telah menggiring masyarakat ke dalam bingkai permainan kekuasaan, sehingga masyarakat terperangkap dalam permainan tersebut, dan merasa teramat berat untuk keluar dari permainan lumpur kekuasaan. Dan ini sepertinya telah membenarkan pernyataan bahwa sejarah adalah milik mereka yang memiliki akses dan aset ke dalam kekuasaan.
Manipulasi agama dan penyebaran berita bohong kurang mempertimbangkan sensivitas politik dari setiap kegiatan politik. Manipulasi agama melalui gerakan masa dan menggunakan isu-isu keagamaan justru telah meniadakan akal sehat dan hati nurani, sedangkan penyebaran berita hoax telah mengubur kebenaran sehingga meniadakan kebenaran untuk bertumbuh dan berkembang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rasionalitas dan kebenaran tidak boleh kalah oleh badut-badut politik yang memanipulasi kebenaran dengan menggunakan trik-trik kotor. Kebenaran, rasionalitas, dan hati nurani harus menang atas badut-badut politik. Kita harus menyadari sedini mungkin bila para badut politik memperoleh kekuasaan, maka kita akan membayarnya dengan harga yang sangat mahal, yaitu benih perpecahan dan perselisihan yang akan melenyapkan NKRI dari peredaran sejarah.
Santun Berpolitik
Max Weber menjelaskan bahwa menjadi seorang politisi merupakan sebuah tugas jabatan dan panggilan. Politik dikatakan sebagai sebuah panggilan karena tidak semua orang bisa menjadi politisi, sedangkan menjadi sebuah tugas jabatan karena harus berjalan secara bertanggung jawab atas dasar moral, etika politik, dan aturan yang berlaku.
Gagasan ini amat perlu bagi para aktor politik. Mereka harus mendasari panggilan politis atas dasar prinsip moral dan etika. Politik tanpa berdasar pada kedua prinsip ini akan menjerumuskan para aktor politik untuk memperoleh kekuasaan dengan segala cara, dan akan pula menggunakan kekuasaan untuk semata-mata melanggengkan kekuasaan tersebut.
Prinsip demokrasi yang sehat adalah memperoleh kekuasaan dengan cara yang santun. Kesantunan berpolitik akan tampak dalam praksis politik yang sesuai dengan ketentuan konstitusi. Kiranya teramat penting untuk menyampaikan gagasan yang bersumber data demi kepentingan yang mengarah kepada kesejahteraan rakyat.
Menggunakan agama sebagai sarana politik kiranya kurang bijak dalam berpolitik mengingat bahaya yang menghantuinya teramat besar. Politik adalah area profan, sedangkan agama area religius yang mengatur relasi manusia dengan Yang Kuasa dan manusia dengan manusia yang memiliki keyakinan yang sama.
Ini berarti bahwa pemanfaatan area religius berarti memrofankan batas-batas religiusitas. Bahayanya adalah penyelewengan ajaran agama demi kepentingan politik sesaat. Konsekuensi terbesarnya adalah memperlebar jarak antara pemeluk agama yang berbeda karena cenderung ada nada pemaksaan kepentingan sepihak kepada yang lain.
Area politik adalah gagasan untuk kepentingan dan kebaikan bersama. Profanisasi agama akan memenangkan kelompok mayoritas dan mengalahkan kelompok minoritas. Politik sejatinya tidak berkaitan dengan kuantitas mayoritas vs minoritas, tetapi lebih dari itu adalah kualitas gagasan yang bersumber data untuk memperbaiki keadaan yang lebih baik di masa yang akan datang. Politik yang benar harus lepas dari isu mayoritas dan minoritas.
Pada dimensi lain, memperoleh kekuasaan dengan bersikap dan bertindak agresif dengan menyingkirkan siapa saja yang menjadi penghalang melalui upaya menyebarkan kebohongan merupakan pengebirian terhadap kebenaran. Sebuah kebenaran tetap adalah kebenaran, sedangkan sebuah kebohongan tetap adalah kebohongan. Sejarah akan membuktikan kebenaran dan kebohongan dalam waktu. Kebenaran pasti akan mengemuka dalam sejarah, karena sejarah adalah medan kebenaran.
Konsekuensi dari gagasan ini adalah praksis politik yang baik dan benar. Tuntutan dasarnya adalah menyatakan kebenaran yang mengarah pada kebaikan bersama. Politik harus jauh dari tujuan memperoleh kekuasaan semata-mata. Bahaya dari kekuasaan adalah penyimpangan dari kebenaran dan kebaikan dengan praktek manipulatif.
Politik yang santun bukan sekedar mengejar kekuasaan, tetapi lebih dari itu adalah sebuah upaya terus-menerus untuk menggapai kebaikan dan kesejahteraan bersama. Gagasan besar yang tercakup di dalamnya adalah upaya meraih kekuasaan dengan cara yang bertanggungjawab dan berdasar pada prinsip moral dan etika. Menggapai kekuasaan dengan menghalalkan segara cara, termasuk dengan menyebarkan kebohongan, pada puncaknya akan mewujudkan kekuasaan dengan kebohongan dan kepalsuan.
Para politisi sejatinya memiliki komitmen dan kompetensi untuk menjalakan tanggungjawab politis. Bersamaan dengan itu pula harus memiliki niat baik untuk mewujudkan good governance, memiliki sense of justice, dan memiliki sense of good. Tanpa cita rasa tersebut, praksis politik akan sekedar menjalankan kekuasaan demi kekuasaan itu semata-mata.
Selanjutnya bagi masyarakat sebagai pemilik demokrasi harus cerdas dalam memilih. Cerdas memilih dalam konteks ini berarti harus lepas dari politik identitas (termasuk agama) dan kebohongan. Daya filter akal budi dan hati nurani menjadi tumpuan dasarnya. Masyarakat harus mencintai kebenaran dan kebaikan dengan memilih para wakil rakyat yang baik dan benar.
Kita menyebutnya dengan terminologi cerdas berdemokrasi, yang berarti kemampuan masyarakat untuk tidak larut dalam isu-isu dangkal yang menyesatkan. Kecerdasan yang dimaksud akan lebih tampak dalam kesanggupan menguji visi, misi, dan program kerja yang terukur dari para calon politisi, agar memilih para calon yang kompeten demi kebaikan dan kesejahteraan massyarakat.