-->

Makna Fundamental dalam Pesta Reba

MAKNA DASARIAH DALAM PESTA REBA
Andreas Neke
(Alumnus Pasca Sarjana STFT St. Yohanes Pematangsiantar

Bajawa merupakan salah satu kota yang berada di wilayah Kabupaten Ngada. Di wilayah ini hiduplah masyarakat budaya Reba yang biasa menghidupi dan menghayati budaya Reba. Masyarakat dengan budaya ini meliputi wilayah hukum adat Mangulewa, Jerebuu, Ngada Bawa, Wogo, Gisi, Wolokuru, Doka, Aimere, dan Naru.
Beberapa wilayah hukum adat di atas telah merayakan pesta Reba. Beberapa wilayah hukum adat lainnya sedang, dan beberapanya lagi akan merayakannya. Pelaksanaan pesta Reba sangat bergantung pada kalender masyarakat budaya Reba yang biasa menyebutnya dengan wula (bulan). Berdasar pada kalender tersebut pelaksanaan pesta Reba umumnya akan berlangsung sejak bulan Desember sampai bulan Maret.
Masyarakat budaya Reba memiliki ajaran pokok kehidupan yang biasanya disebut dengan Su’i Uwi. Su’i Uwi terdiri dari dua kata yakni su’i dan uwi. Su’i adalah aksi atau tindakan memberikan benih dan membuahi. Darinya kemudian dipahami bahwa su’i adalah sumber dan pokok berdaya cipta yang memberikan keturunan dan kehidupan baru.
Secara praktis akan lebih mudah dipahami bila dianalogikan dengan seekor pejantan (babi) yang digunakan untuk menjantani seekor babi betina yang pada akhirnya akan menghasilkan keturunan. Sebutan su’i biasanya melekat pada seekor babi jantan yang memberikan keturunan. Analogi ini harus dipahami secara tepat karena dalam analogi biasanya ada kesamaan dan serentak dengannya mengandung banyak perbedaan.
Sedangkan uwi adalah sejenis ubi yang tumbuh menjalar. Uwi ini menjadi sumber makanan pokok yang tahan lama dan dapat bertumbuh dengan cepat. Uwi di samping sangat bernilai ekonomis karena memenuhi kebutuhan pokok, namun lebih dari itu sangat bernilai historis. Ini sangat beralasan karena Oba dan Nanga sebagai pemakarsa pengembaraan leluhur masyarakat budaya Reba membawa serta uwi (ulu uwi) dalam pengembaraan mereka.
Ini sangat membantu kita untuk memahami alasan dasar penghormatan terhadap uwi. Ini juga menjadi alasan utama mengapa masyarakat budaya Reba tidak menghormati jagung atau padi. Dua jenis tanaman ini dan tanaman lainnya ternyata ditemukan dalam pengembaraan leluhur masyarakat budaya Reba. Benih padi dari Jawa, jagung dari Bima, dan lontar dari Sumba.
Gagasan ini mengandung konsekuensi serius bagi generasi penerus budaya Reba, termasuk para penyambung sejarah masa kini, bahwa uwi harus ditanam di setiap kebun dan dipuja sebagai sumber makanan pokok leluhur pencetus budaya Reba.
Konsep yang mengemuka bahwa Su’i Uwi merupakan ajaran fundamental masyarakat budaya Reba. Ajaran ini berbentuk sajak yang senantiasa diucapkan bait demi bait pada setiap upacara Reba, karena momen ini merupakan pesta tahunan dan pesta tahun baru bagi masyarakat budaya Reba. Ajaran pokok ini mengharuskan para penerus budaya Reba untuk senantiasa mengenang dan melestarikannya dari masa ke masa.
Ajaran pokok masyarakat budaya Reba berfungsi dan berperan begitu mendasar sehingga dalam ritus Reba, ajaran ini menjadi ritus yang paling inti. Di dalamnya memuat empat hal pokok yang bertalian langsung dengan masyarakat budaya Reba itu sendiri. Keempat hal itu adalah awal mula masyarakat budaya Reba, persiapan mengarungi lautan, tempat-tempat singgahan, serta ajaran tentang etos kerja dan moralitas.
Butir pertama Su’i Uwi mengemukakan serangkaian perjalanan secara utuh yang menjadi awal mula masyarakat budaya Reba. Su’i Uwi mengetengahkan bahwa mereka berasal dari tempat yang tak bernama atau tempat yang gelap gulita (pu’u zili giu gema). Dari sana terbitlah terang yang menuntun mereka sehingga dapat menerobos hutan belantara.
Dua ethnolog ternama, yakni P. Dr. Paul Arndt, SVD dan P. Dr. Herman J. Bader, SVD menulis bahwa masyarakat Ngada berasal dari Yunan Selatan yakni sebuah wilayah di China Selatan. Su’i Uwi memperjelasnya dengan menyebut “dari China nan jauh di sana” (pu’u zili Sina one). Sina (China) bertalian langsung dengan artikulasi masyarakat Bajawa yang menyebut China dengan Sina.
Perdebatan atasnya boleh saja mengemuka dengan melihat realitas yang berkembang dewasa ini. Boleh saja kita mengkaji dan menelaahnya secara lebih mendalam dengan membandingkan corak fisik, bahasa, dan beragam hal lainnya. Tetapi satu hal yang tak dapat disangkal bahwa asimilasi dan akulturasi budaya yang terjadi dalam perjumpaan pengembaraan leluhur budaya Reba dengan segala realitas yang berada di sekitarnya telah menyebabkan beragam perbedaan yang tak dapat disangkal dalam beragam aspek yang melekat di dalamya.
Selanjutnya Su’i Uwi mengetengahkan bahwa dari tempat yang tidak diketahui namanya, leluhur budaya Reba tiba di Selo (zili Selo one - sudah berada di Seylon). Selo (Seylon) berkaitan langsung dengan artikulasi masyarakat budaya Reba yang hanya mempunyai dua suku kata tanpa menyelinginya dengan sangau atau konsonan di tengah dan di belakang kata.
Tahap awal pengembaraan bermula dengan membuat sebuah perahu. Perahu tersebut dibuat dengan tiang yang besar. Pengembaraan mengarungi lautan dipimpin oleh mosa (pemimpin). Dan, yang pasti ada nahkoda yang menahkodai mereka dalam mengarungi lautan. Inilah yang menjadi cikal bakal persiapan mengarungi lautan sehingga sampailah leluhur budaya Reba ke tempat yang mereka tuju untuk pertama kalinya yakni di Aimere (Tiwalina).
Dalam pengembaraannya para leluhur budaya Reba juga menyinggahi tempat-tempat yang menjadi persinggahan mereka. Su’i Uwi menyebutkan tempat-tempat tersebut seperti Jawa, Bima, dan Sumba. Su’i Uwi menyebut zili Jawa one (sudah berada di Jawa nan jauh di sana). Su’i Uwi tidak menyebut Bima secara eksplisit. Yang disebut adalah Raba (zili Raba one). Raba adalah sebuah kampung yang berada di pantai Utara Bima.
Yang terjadi di tempat-tempat persinggahan tersebut tidak hanya pernikahan dengan gadis Jawa, Bima, dan Sumba, tetapi bahwa mereka juga membawa serta bibit-bibit tanaman seperti padi dari Jawa, jagung dari Bima, dan lontar dari Sumba. Dan pada akhirnya perkawinan-perkawinan tersebut menjadi cikal bakal keturunan masyarakat budaya Reba yang kemudian membentuk klan (woe).
Bagian terakhir ajaran Su’i uwi mengetengahkan ajaran tentang etos kerja dan moralitas. Kedua ajaran ini bermaksud untuk menciptakan keadilan dan kedamaian. Ajaran yang termaktub di dalamnya berupa penyerahan hak dan kewajiban atas tanah. Di dalamnya mengharuskan para penerus budaya Reba untuk bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sedangkan ajaran tentang moralitas berupa ajakan untuk saling mengasihi seorang dengan yang lainnya. Hal ini penting demi terwujudnya harmoni dalam realitas kehidupan. Tekanan utamanya adalah nasihat untuk tidak mencemarkan nama baik sesama manusia. Dan pada akhirnya Su’i Uwi juga megetengahkan hukuman atas pelanggaran. Besar kecilnya hukuman sangat bergantung pada besar kecilnya suatu kejahatan yang telah diperbuat.
Seperti telah dikemukakan di atas, Su’i Uwi merupakan ajaran pokok masyarakat budaya Reba. Ajaran ini sedemikian fundamental sehingga masyarakat budaya Reba harus senantiasa mengingat, mengenang, dan melestarikannya dalam setiap upacara Reba. Dalam upacara tahunan ini terwujudlah peluhuran terhadap Su’i Uwi oleh pemimpin Su’i Uwi yakni ketua suku dalam kesatuan hukum adat.
Disadari bahwa upacara Reba dewasa ini lebih menekankan ritus tanpa penjelasan dan pemaknaan atasnya dan lagi atas Su’i Uwi itu sendiri. Bahaya yang timbul adalah kehilangan makna dasariah dari kedalaman makna yang sesungguhnya. Nilai dan makna luhur yang terkandung dalam Su’i Uwi hampir tidak pernah lagi disampaikan kepada generasi berikutnya sehingga ke depan pasti akan kehilangan makna dasar yang terkandung di dalamnya.
Hal lainnya adalah estafet pentradisian yang sangat terbatas pada orang-orang tertentu saja sehingga menjadi sangat kabur bagi yang lainnya. Ini mengharuskan bahwa demi estafet tradisi yang lebih baik, maka perlulah penjelasan dan pemaknaan secara benar sesuai dengan ajaran Su’i Uwi itu sendiri, sehingga pelaksanaan pesta Reba tidak sebatas ritus tanpa makna, tetapi bagaimana memahami dan memaknai pesta Reba, termasuk di dalamnya memahami dan memaknai Su’i Uwi yang menjadi inti dari pesta Reba itu sendiri.
Ini menjadi sangat urgen mengingat bahaya yang telah muncul di pelupuk mata supaya makna dan inti dari pesta Reba tidak hanyut dalam budaya hura-hura yang kerap lebih menonjol dewasa ini. Bila pemerintah menggerakkan kesadaran untuk kembali mencintai makanan lokal, seharusnya masyarakat budaya Reba kembali mencintai uwi, sekurang-kurangnya pada saat pesta Reba untuk mengenang dan menghormati leluhur dalam pengembaraan mereka seperti yang dicetuskan dalam Su’i Uwi itu sendiri.
Yang paling penting dari semuanya adalah penanaman makna dari pesta Reba dan ajaran Su’i Uwi itu sendiri supaya para penerus budaya Reba lebih memaknai dan menghayatinya secara lebih tepat dan benar dalam realitas kehidupan yang serba kompleks dewasa ini.
Harapannya adalah agar masyarakat budaya Reba tidak melupakan makna fundamental dari pesta Reba itu termasuk nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Sebagai generasi penerus sejarah budaya sejatinya kesadaran berbudaya mematri dalam setiap sanubari masyarakat budaya Reba sehingga pemaknaan dan penghayatannya benar-benar mewujud dalam kehidupan sehari-hari.

LihatTutupKomentar