PEMILU DAN POLITIK IDENTITAS
Andreas Neke
Pengamat Sosial, Tinggal di Bajawa-Flores-NTT
Pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta telah memberikan nuansa tersendiri dalam percaturan politik nasional. Kemenangan Jokowi-Ahok memberikan harapan baru dalam berdemokrasi. Publik kemudian menyadari bahwa kemenangan pasangan ini merupakan kemenangan demokrasi dan kemenangan warga DKI dalam menentukan pilihan terhadap pemimpin yang mengerti masalah warga DKI.
Para pengamat politik dan demokrasi sepakat mengatakan bahwa rakyat mulai cerdas berdemokrasi. Rakyat menyadari bahwa politik identitas bersifat terbatas, rapuh dan semu. Pilihan untuk tidak memilih politik identitas telah menandakan tumbuhnya budaya demokrasi. Kecerdasan memilih melampaui politik identitas. Sekali lagi kemenangan Jokowi-Ahok menjadi bukti kemenangan demokrasi dan kemenangan rakyat yang cerdas dann bijak.
Pesta demokrasi DKI yang menjadi barometer politik dan demokrasi nasional berlanjut pada pemilihan gubernur berikutnya. Rivalitas pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi sangat terasa dalam percaturan politik DKI. Nuansa positif pesta demokrasi periode sebelumnya berubah negatif karena ternoda praksis politik identitas. Mencuatnya isu SARA sebagai bagian dari politik identitas dengan sangat kentara telah mencedarai pesta demokrasi.
Kepuasan rakyat terhadap kinerja Ahok-Djarot yang mencapai 70% ternyata kalah oleh politik identitas. Politik identitas yang mengusung isu agama dan etnis telah menggiring dan membelenggu pikiran rakyat. Rakyat lupa bahwa dalam politik ada retorika dan agitasi yang membelenggu akal sehat. Yang terjadi adalah kalahnya demokrasi. Rakyat lebih memilih pemimpin karena ikatan agama dan etnis ketimbang kinerja sang calon pemimpin.
Praksis politk identitas dalam percaturan politik nasional ternyata bukan hal asing dalam percaturan politik internasional. Amerika Serikat yang sangat populer sebagai negara demokrasi dalam praksis demokrasinya juga memanfaatkan politik identitas dalam pemilihan pemimpinnya. Para rival mantan presiden Barrack Obama bahkan pernah menyoalkan tempat kelahiran, warna kulit, dan agama. Walaupun Obama akhirnya memenangkan pemilu presiden, tetapi pada kenyataannya praksis politik identitas memainkan peran penting dalam kancah perpolitikan Amerika Serikat.
Donald Trump selama masa kampanye pilpres AS menyokong politik identitas dengan menyoal masalah ras, agama, dan gender. Jurus ini terbukti ampuh karena Trump dapat memenangkan pemilihan presiden untuk menggantikan Barrack Obama. Masalah justeru timbul setelah Trump menduduki jabatan presiden. Manakala politik identitas hendak diimplementasikan dalam beberapa kebijakan nasional justeru mendapat respons negatif. Mayoritas warga Amerika yang nota bene mencintai demokrasi dan pluralitas menolak dengan tegas kebijakan yang bernuansa ras, agama, dan gender.
Identitas Pilgub NTT
Sebuah fakta politis menunjukkan bahwa budaya politik NTT masih terbelenggu budaya politik parokial. Banyak pemilih tidak aktif dalam berpolitik tetapi memiliki kecenderungan dalam menentukan pilihan politik berdasarkan gerakan kelompok elit politik dan kelompok kepentingan (interest group). Ini menjadi soal serius karena ada ketakutan bahwa rakyat akan digiring oleh para elit politik ke dalam praksis gerakan politik identitas.
Para pengamat politik NTT menyebut konfigurasi pilgub NTT 2018 ke dalam tiga identitas dasar. Pertama, demografi pemilih yang merepresentasikan wilayah NTT. Konfigurasi yang dibangun adalah pemimpin yang merepresentasikan wilayah Flores-Lembata dan wilayah Timor-Alor. Pengandaiannya adalah pemimpin berasal dari wilayah Flores-Lembata dan wakilnya berasal dari wilayah Timor-Alor atau sebaliknya.
Kedua, representasi agama yang mengkonfigurasikan kekuatan dua agama besar di NTT yakni Katolik dan Protestan. Ini mengandaikan bahwa pencalonan berdasar pada konfigurasi pemimpinnya Katolik dan wakilnya Protestan ataupun sebaliknya pemimpinnya Protestan dan wakilnya Katolik.
Ketiga, konfigurasi kekuatan politik, yang berdasar pada kekuatan politik masing-masing partai politik. Mengingat tak satupun partai politik yang bisa mengusung calonnya sendiri maka akan sangat menarik menyimak riak perpolitikan NTT pada tataran elit politik yang disertai dengan pertimbangan kedua konfigurasi di atas.
Fakta yang tak terbantahkan bahwa politik identitas masih merupakan senjata andalan untuk memenangkan pemilu. Dalam konteks pilgub NTT 2018 politik identitas bisa saja menyeruak ke permukaan berdasar pada dua konfigurasi politik NTT yakni demografi pemilih dan agama. Dua hal ini adalah fakta yang harus disadari oleh rakyat sebagai pemilih, elit politik, dan calon pemimpin sebagai sebuah keniscayaan.
Namun demikian rakyat perlu menyadari bahwa masalah perebutan kekuasaan adalah perebutan para elit yang memiliki akses. Para elit ini yang menyetir sejarah dan menentukan strategi pemenangan. Para elit tak akan pernah berbicara tentang kekuasaan yang dimiliki rakyat karena rakyat adalah penguasa yang sebenarnya dalam perebutan kekuasaan antara para elit.
Proses penggiringan politik identitas dalam aneka cara dan bentuk pasti akan terjadi. Yang penting rakyat harus menyadari secara pasti bahwa politik identitas lebih mengutamakan emosi ketimbang rasio. Politik identitas terarah pada kepentingan dan pandangan kelompok sosial berdasarkan suku, agama, ras, gender, dan lain-lain, ketimbang diskusi politik yang bersumber pada masalah-masalah aktual yang sedang melanda rakyat NTT pada umumnya.
Sebuah penyadaran harus tumbuh bahwa praktek politik identitas dapat mengalihkan dan menyelewengkan energi dan perhatian dari isu-isu sosial yang lebih fundamental. Pengalihan dan penyelewengan isu sosial kepada politik identitas akan meniadakan fungsi rasio karena orang akan lebih digiring dan disesatkan oleh identitas keagamaan, keetnisan, dan lain-lain dari pada masalah-masalah faktual yang menyentuh langsung kehidupan rakyat.
Pemilihan pemimpin bukan soal rasa dan ikatan emosional semata. Lebih penting dari itu adalah ketajaman visi, misi, dan program yang akan menjawab secara langsung masalah rakyat. Diskusi politik harus lebih tajam membahas masalah-masalah sosial ketimbang politik identitas yang terfragmentasi.
Pesta demokrasi adalah pesta dari, oleh, dan untuk rakyat. Sudah saatnya membangun nuansa demokrasi yang cerdas dan sehat. Proses pilgub NTT harus mampu sampai pada level memilih tanpa terkontaminasi politik identitas yang bersifat temporal, aksidental, dan terbatas.
Rakyat harus menyadari secara pasti bahwa pesta demokrasi dalam pilgub NTT adalah pesta rakyat NTT. Rakyat sedang berpesta menentukan pilihan politis untuk memilih pemimpin NTT, tetapi bukan memilih pemimpin yang akan memimpin sekelompok rakyat dari agama, etnis, dan suku tertentu.
Yang paling fundamental dalam sebuah pesta demokrasi adalah kecerdasan dan kesadaran rakyat sebagai pemilih. Rakyat adalah tuan atas pesta demokrasi. Rakyat adalah penentu pilihan yang akan menempatkan pemimpin pada jabatannya atas pilihan mereka sendiri.
Pemilih yang cerdas harus mampu melampaui politik identitas. Kecerdasan pilihan akan mewujud dalam kesadaran bahwa politik identitas mencederai demokrasi, menodai hati nurani, dan mengangkangi akal sehat. Pemilih yang cerdas akan lebih memrioritaskan masalah-masalah sosial dan tawaran solusi atas masalah-masalah sosial yang sedang terjadi.
Aneka masalah sosial dalam konteks NTT adalah kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, korupsi, perdagangan manusia, dan lain-lain. Pada titik ini rakyat sebagai tuan atas pesta demokrasi, calon pemimpin, dan elit politik harus lebih banyak menguras pikiran, energi, dan waktu agar dapat menemukan solusi yang tepat atas masalah-masalah yang menimpa rakyat NTT.
Rakyat juga harus mampu berkaca dan menilik calon pemimpin yang transparan, kredibel, kompeten, bersih secara etis-moral, dan memiliki sepak terjang yang teruji dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban yang pernah diembannya. Sekali lagi, kriteria ini dapat tercapai ketika rakyat sebagai pemilih memiliki ketajaman akal budi, kemurnian hati, dan kejelian pilihan yang melampaui politik identitas.
Bila pada akhirnya pesta demokrasi dalam pilgub NTT 2018 telah sampai pada diskusi dan bukan emosi sentimen primordial, kita boleh berbangga dan menyebut pesta demokrasi telah sampai pada proses yang cerdas dan bermartabat karena telah melampaui politik identitas yang merupakan musuh demokrasi. Dalam konteks ini rakyat, calon pemimpin dan elit politik sudah sadar dan bijak berpolitik karena telah mampu memosisikan politik dan demokrasi pada statusnya yang benar dan terpuji.
Andreas Neke
Pengamat Sosial, Tinggal di Bajawa-Flores-NTT
Pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta telah memberikan nuansa tersendiri dalam percaturan politik nasional. Kemenangan Jokowi-Ahok memberikan harapan baru dalam berdemokrasi. Publik kemudian menyadari bahwa kemenangan pasangan ini merupakan kemenangan demokrasi dan kemenangan warga DKI dalam menentukan pilihan terhadap pemimpin yang mengerti masalah warga DKI.
Para pengamat politik dan demokrasi sepakat mengatakan bahwa rakyat mulai cerdas berdemokrasi. Rakyat menyadari bahwa politik identitas bersifat terbatas, rapuh dan semu. Pilihan untuk tidak memilih politik identitas telah menandakan tumbuhnya budaya demokrasi. Kecerdasan memilih melampaui politik identitas. Sekali lagi kemenangan Jokowi-Ahok menjadi bukti kemenangan demokrasi dan kemenangan rakyat yang cerdas dann bijak.
Pesta demokrasi DKI yang menjadi barometer politik dan demokrasi nasional berlanjut pada pemilihan gubernur berikutnya. Rivalitas pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi sangat terasa dalam percaturan politik DKI. Nuansa positif pesta demokrasi periode sebelumnya berubah negatif karena ternoda praksis politik identitas. Mencuatnya isu SARA sebagai bagian dari politik identitas dengan sangat kentara telah mencedarai pesta demokrasi.
Kepuasan rakyat terhadap kinerja Ahok-Djarot yang mencapai 70% ternyata kalah oleh politik identitas. Politik identitas yang mengusung isu agama dan etnis telah menggiring dan membelenggu pikiran rakyat. Rakyat lupa bahwa dalam politik ada retorika dan agitasi yang membelenggu akal sehat. Yang terjadi adalah kalahnya demokrasi. Rakyat lebih memilih pemimpin karena ikatan agama dan etnis ketimbang kinerja sang calon pemimpin.
Praksis politk identitas dalam percaturan politik nasional ternyata bukan hal asing dalam percaturan politik internasional. Amerika Serikat yang sangat populer sebagai negara demokrasi dalam praksis demokrasinya juga memanfaatkan politik identitas dalam pemilihan pemimpinnya. Para rival mantan presiden Barrack Obama bahkan pernah menyoalkan tempat kelahiran, warna kulit, dan agama. Walaupun Obama akhirnya memenangkan pemilu presiden, tetapi pada kenyataannya praksis politik identitas memainkan peran penting dalam kancah perpolitikan Amerika Serikat.
Donald Trump selama masa kampanye pilpres AS menyokong politik identitas dengan menyoal masalah ras, agama, dan gender. Jurus ini terbukti ampuh karena Trump dapat memenangkan pemilihan presiden untuk menggantikan Barrack Obama. Masalah justeru timbul setelah Trump menduduki jabatan presiden. Manakala politik identitas hendak diimplementasikan dalam beberapa kebijakan nasional justeru mendapat respons negatif. Mayoritas warga Amerika yang nota bene mencintai demokrasi dan pluralitas menolak dengan tegas kebijakan yang bernuansa ras, agama, dan gender.
Identitas Pilgub NTT
Sebuah fakta politis menunjukkan bahwa budaya politik NTT masih terbelenggu budaya politik parokial. Banyak pemilih tidak aktif dalam berpolitik tetapi memiliki kecenderungan dalam menentukan pilihan politik berdasarkan gerakan kelompok elit politik dan kelompok kepentingan (interest group). Ini menjadi soal serius karena ada ketakutan bahwa rakyat akan digiring oleh para elit politik ke dalam praksis gerakan politik identitas.
Para pengamat politik NTT menyebut konfigurasi pilgub NTT 2018 ke dalam tiga identitas dasar. Pertama, demografi pemilih yang merepresentasikan wilayah NTT. Konfigurasi yang dibangun adalah pemimpin yang merepresentasikan wilayah Flores-Lembata dan wilayah Timor-Alor. Pengandaiannya adalah pemimpin berasal dari wilayah Flores-Lembata dan wakilnya berasal dari wilayah Timor-Alor atau sebaliknya.
Kedua, representasi agama yang mengkonfigurasikan kekuatan dua agama besar di NTT yakni Katolik dan Protestan. Ini mengandaikan bahwa pencalonan berdasar pada konfigurasi pemimpinnya Katolik dan wakilnya Protestan ataupun sebaliknya pemimpinnya Protestan dan wakilnya Katolik.
Ketiga, konfigurasi kekuatan politik, yang berdasar pada kekuatan politik masing-masing partai politik. Mengingat tak satupun partai politik yang bisa mengusung calonnya sendiri maka akan sangat menarik menyimak riak perpolitikan NTT pada tataran elit politik yang disertai dengan pertimbangan kedua konfigurasi di atas.
Fakta yang tak terbantahkan bahwa politik identitas masih merupakan senjata andalan untuk memenangkan pemilu. Dalam konteks pilgub NTT 2018 politik identitas bisa saja menyeruak ke permukaan berdasar pada dua konfigurasi politik NTT yakni demografi pemilih dan agama. Dua hal ini adalah fakta yang harus disadari oleh rakyat sebagai pemilih, elit politik, dan calon pemimpin sebagai sebuah keniscayaan.
Namun demikian rakyat perlu menyadari bahwa masalah perebutan kekuasaan adalah perebutan para elit yang memiliki akses. Para elit ini yang menyetir sejarah dan menentukan strategi pemenangan. Para elit tak akan pernah berbicara tentang kekuasaan yang dimiliki rakyat karena rakyat adalah penguasa yang sebenarnya dalam perebutan kekuasaan antara para elit.
Proses penggiringan politik identitas dalam aneka cara dan bentuk pasti akan terjadi. Yang penting rakyat harus menyadari secara pasti bahwa politik identitas lebih mengutamakan emosi ketimbang rasio. Politik identitas terarah pada kepentingan dan pandangan kelompok sosial berdasarkan suku, agama, ras, gender, dan lain-lain, ketimbang diskusi politik yang bersumber pada masalah-masalah aktual yang sedang melanda rakyat NTT pada umumnya.
Sebuah penyadaran harus tumbuh bahwa praktek politik identitas dapat mengalihkan dan menyelewengkan energi dan perhatian dari isu-isu sosial yang lebih fundamental. Pengalihan dan penyelewengan isu sosial kepada politik identitas akan meniadakan fungsi rasio karena orang akan lebih digiring dan disesatkan oleh identitas keagamaan, keetnisan, dan lain-lain dari pada masalah-masalah faktual yang menyentuh langsung kehidupan rakyat.
Pemilihan pemimpin bukan soal rasa dan ikatan emosional semata. Lebih penting dari itu adalah ketajaman visi, misi, dan program yang akan menjawab secara langsung masalah rakyat. Diskusi politik harus lebih tajam membahas masalah-masalah sosial ketimbang politik identitas yang terfragmentasi.
Pesta demokrasi adalah pesta dari, oleh, dan untuk rakyat. Sudah saatnya membangun nuansa demokrasi yang cerdas dan sehat. Proses pilgub NTT harus mampu sampai pada level memilih tanpa terkontaminasi politik identitas yang bersifat temporal, aksidental, dan terbatas.
Rakyat harus menyadari secara pasti bahwa pesta demokrasi dalam pilgub NTT adalah pesta rakyat NTT. Rakyat sedang berpesta menentukan pilihan politis untuk memilih pemimpin NTT, tetapi bukan memilih pemimpin yang akan memimpin sekelompok rakyat dari agama, etnis, dan suku tertentu.
Yang paling fundamental dalam sebuah pesta demokrasi adalah kecerdasan dan kesadaran rakyat sebagai pemilih. Rakyat adalah tuan atas pesta demokrasi. Rakyat adalah penentu pilihan yang akan menempatkan pemimpin pada jabatannya atas pilihan mereka sendiri.
Pemilih yang cerdas harus mampu melampaui politik identitas. Kecerdasan pilihan akan mewujud dalam kesadaran bahwa politik identitas mencederai demokrasi, menodai hati nurani, dan mengangkangi akal sehat. Pemilih yang cerdas akan lebih memrioritaskan masalah-masalah sosial dan tawaran solusi atas masalah-masalah sosial yang sedang terjadi.
Aneka masalah sosial dalam konteks NTT adalah kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, korupsi, perdagangan manusia, dan lain-lain. Pada titik ini rakyat sebagai tuan atas pesta demokrasi, calon pemimpin, dan elit politik harus lebih banyak menguras pikiran, energi, dan waktu agar dapat menemukan solusi yang tepat atas masalah-masalah yang menimpa rakyat NTT.
Rakyat juga harus mampu berkaca dan menilik calon pemimpin yang transparan, kredibel, kompeten, bersih secara etis-moral, dan memiliki sepak terjang yang teruji dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban yang pernah diembannya. Sekali lagi, kriteria ini dapat tercapai ketika rakyat sebagai pemilih memiliki ketajaman akal budi, kemurnian hati, dan kejelian pilihan yang melampaui politik identitas.
Bila pada akhirnya pesta demokrasi dalam pilgub NTT 2018 telah sampai pada diskusi dan bukan emosi sentimen primordial, kita boleh berbangga dan menyebut pesta demokrasi telah sampai pada proses yang cerdas dan bermartabat karena telah melampaui politik identitas yang merupakan musuh demokrasi. Dalam konteks ini rakyat, calon pemimpin dan elit politik sudah sadar dan bijak berpolitik karena telah mampu memosisikan politik dan demokrasi pada statusnya yang benar dan terpuji.