MEMAJUKAN KEBUDAYAAN MELALUI PENGUATAN FUNGSI PENDIDIKAN
Andreas Neke
Manusia dalam dirinya adalah makhluk sosial yang senantiasa ada dan hidup bersama orang lain. Perwujudan realitas tersebut semakin tak terbantahkan dalam kenyataan perkembangan teknologi dan informasi dewasa ini. Yang dengannya berarti bahwa kemajuan teknologi dan informasi telah membantu manusia dalam mewujudkan dimensi sosialitasnya dengan meniadakan sekat yang memisahkan manusia, baik antar individu maupun antar kelompok.
Pertumbuhan dan perkembangan media komunikasi sangat memudahkan manusia untuk mengakses informasi, sehingga pembaruan dan pertukaran informasi bisa terjadi dengan sangat cepat, dan dengan sangat cepat pula memengaruhi pola pikir dan pola laku individu dan masyarakat. Kenyataan ini menimbulkan pergeseran nilai-nilai agama, sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi ciri khas kebudayaan suatu kelompok masyarakat tertentu.
Sejarah mencatat bahwa kebudayaan nasional telah memiliki peradaban yang tinggi. Kemajuan peradaban dapat terjadi karena kontak dengan masyarakat yang berkebudayaan lain, dalam mana kemudian terjadi pertukaran informasi yang memungkinkan terjadinya perubahan peradaban bangsa.
Semua yang dicapai tidak tampak dalam kemajuan material/fisik semata-mata, tetapi bersamaan dengannya bertumbuh pula karakter kebangsaan yang kuat, sehingga telah melahirkan tokoh-tokoh besar yang patut ditiru karena ketokohannya dalam sejarah peradaban kebudayaan nasional. Hal ini dapat berlangsung baik karena adanya upaya yang serius untuk mengejar kemajuan material/fisik tanpa meniadakan penguatan karakter kebangsaan melalui proses penguatan fungsi dan peran pendidikan dalam aneka jenjang dan bentuknya.
Luntur dan Memudarnya Kebudayaan Nasional
Tak terpungkiri bahwa nilai-nilai kebudayaan nasional telah meluntur secara perlahan namun pasti. Pola pikir kekinian telah memengaruhi generasi zaman now, sehingga berimbas pula pada praksis hidup yang kerap berseberangan atau berlawanan dengan kebudayaan lokal, sebagai pembentuk identitas kebudayaan nasional. Kita boleh mengatakan bahwa praksis hidup generasi zaman now sepertinya telah tercabut dari akar kebudayaan nasional, sehingga menumbuhkan praksis hidup yang cenderung bertentangan dengan cita rasa kebudayaan nasional yang berciri ke-indonesia-an.
Pada saat yang sama, fakta membuktikan bahwa tahapan kemajuan bangsa lebih condong pada kemajuan material/fisik. Kita melupakan esensi dari setiap kemajuan yaitu memanusiakan manusia. Ini artinya bahwa setiap kemajuan yang digapai harus pula membarenginya dengan penguatan karakter kebangsaan yang mumpuni seperti kedisiplinan, kerja keras, kejujuran, toleransi, serta malu berbuat curang atau memperoleh hasil dengan cara gampangan dan murahan melalui proses penguatan pendidikan. Dan ini boleh dikatakan sebagai sebuah kemunduran, karena tahapan kemajuan bangsa sampai saat ini justru adalah hasil dan buah dari kedisiplinan, kerja keras, kejujuran, dan kemauan untuk memperoleh hasil maksimal dengan cara yang wajar dan terpuji.
Kemajuan material/fisik sangat membantu manusia dalam menjalankan aktifitas hariannya. Kemajuan dalam bidang informasi misalnya, telah menyatukan manusia dengan meniadakan sekat yang membatasi manusia yang berbeda latar belakang agama, suku, bangsa, dan benua sehingga saling mendekatkan manusia yang satu dengan yang lainnya.
Namun demikian, kita patut menyadari pula bahwa kemajuan material/fisik ini diraih tanpa dibarengi oleh penguatan karakter kebangsaan melalui proses pendidikan yang kokoh, sehingga telah menjerumuskann generasi zaman now ke dalam jurang kehancuran. Kemajuan yang demikian adalah semu, karena sejatinya sebuah kemajuan material/fisik tidak boleh meniadakan esensi kemanusiaan dalam hubungannya dengan pendidikan karakter kebangsaan.
Semuanya akan tampak ke permukaan manakala kita menyaksikan dan mengalami pemanfaatan media komunikasi secara kurang bertanggung jawab pada masa kini. Kemajuan teknologi dan informasi telah menjerumuskan generasi zaman now ke dalam praksis hidup yang berseberangan dengan cita rasa kebangsaan seperti penyebaran berita hoaks, ujaran kebencian, fitnah, penjualan NARKOBA, dan seks bebas.
Kenyataan ini menggugah setiap insan yang mencintai kebudayaan lokal yang nota bene adalah pembentuk identitas kebudayaan nasional. Kita tentu akan mencari akar yang menjadi penyebabnya. Dan tak dapat dipungkiri bahwa lunturnya kebudayaan nasional dewasa ini karena telah melalaikan proses pendidikan dalam arti luas. Proses pendidikan tak terjadi sebagaimana mestinya sehingga mengalami keterputusan yang menyebabkan gap yang memisahkan satu generasi dengan generasi lainnya, dan menyebabkan proses transfer dan estafet kebudayaan tidak berlangsung sebagaimana mestinya.
Melalaikan Proses Pendidikan
Luntur dan memudarnya kebudayaan nasional merupakan akibat dari sebuah kelalaian dalam proses pendidikan. Kita terlalu lama larut dan terjerumus dalam arus perkembangan material/fisik tanpa merasa perlu membentengi generasi penerus dengan dasar kebudayaan lokal yang kokoh sebagai pembentuk karakter kebudayaan nasional.
Sudah semestinya generasi zaman now tidak mengkambinghitamkan kelalaian yang ada kepada lembaga pendidikan formal semata. Pendidikan adalah tanggung jawab semua individu dalam aneka jenjang dan bentuknya. Ini berarti bahwa kelalaian pendidikan juga adalah kelalaian individu sebagai individu, dan individu dalam berbagai lembaga sosial yang ada dalam masyarakat.
Keluarga merupakan lembaga elementer dalam proses pendidikan. Orang tua sejatinya adalah guru pertama dan utama dalam keluarga. Ini berarti juga bahwa rumah sejatinya menjadi sekolah pertama dan utama dalam proses penanaman nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam upaya membentuk identitas kebudayaan nasional.
Secara faktual kita mengalami bahwa rumah tidak lagi menjadi sekolah nilai. Serentak dengan itu pula bahwa orang tua tidak lagi memainkan perannya sebagai guru pertama dan utama dalam proses pendidikan anak. Terhadap beragam perilaku negatif anak dewasa ini, yang terjadi adalah pelemparan tanggung jawab keluarga dan orang tua kepada guru dan sekolah. Orang tua menganggap bahwa guru adalah pendidik utama, dan sekolah bertanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan proses pendidikan anak.
Orang tua sepertinya lupa bahwa mereka sebenarnya telah gagal menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak, karena mereka lebih dekat dan sayang kepada TV, internet, game, handphone dan android atau gadged, sehingga proses interaksi dan komunikasi yang menjadi jantung kehidupan keluarga menjadi sangat minim. Orang tua lebih sibuk dan peduli dengan individu dan keadaan di luar rumah dari pada anak-anak yang merupakan bagian nyata dari kehidupannya.
Pengabaian terhadap prinsip ini akan berakibat fatal. Pendidikan tidak sekedar terjadi dan berlangsung pada institusi formal, tetapi lebih dari itu harus kembali ke dasarnya yaitu keluarga. Keluarga adalah sekolah pertama dari sebuah proses pendidikan. Serentak dengan itu bahwa orang tua adalah guru pertama dan utama dari sebuah proses pendidikan tersebut. Pendidikan dalam proses mentransfer dan mengestafetkan kebudayaan nasional pertama-tama adalah tanggung jawab orang tua, dan serentak pula terjadi dalam rumah sebagai sekolah pertama dalam menjalankan proses tersebut.
Masyarakat yang mencakup teman sebaya atau kelompok bermain dan berbagai lembaga sosial dalam masyarakat, turut bertanggung jawab dalam proses pendidikan individu. Lembaga masyarakat adalah cakupan dan ruang lingkup yang lebih luas dalam menjalankan proses pendidikan. Ini berarti bahwa lembaga masyarakat sejatinya menjadi sarana lanjutan dari proses pendidikan untuk mentransfer dan mengestafetkan identitas kebudayaan nasional.
Kenyataannya justru berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan. Secara kasat mata, kita dapat menemukan dan menyaksikan bahwa lembaga masyarakat lebih menampilkan perilaku dan perihidup yang berseberangan dengan identitas kebudayaan nasional. Lembaga masyarakat tidak lagi menjadi arena yang layak untuk mengaktualisasikan proses pendidikan, sehingga tanpa disadari telah memberikan andil yang sangat besar untuk memusnahkan identitas kebudayaan nasional.
Selanjutnya kita harus menyebut lembaga pendidikan formal yaitu sekolah dalam aneka jenjang dan bentuknya. Kita kiranya tak berani membantah bahwasanya lembaga pendidikan telah sangat lama menekankan aspek pengetahuan dan sedikit memberi perhatian pada aspek spiritual, sosial, dan keterampilan dalam proses pendidikan.
Kita telah memanen buahnya kini. Maraknya beragam perilaku negatif dalam masyarakat baik di kalangan pejabat maupun masyarakat pada umumnya merupakan hasil dari kelalaian dalam proses pendidikan. Namun demikian, kita patut bersyukur karena kenyataan yang ada telah disadari oleh para stakeholder negara tercinta ini sehingga ada niat baik dalam upaya membenahi kurikulum pendidikan yang sedang terjadi melalui penerapan Kurikulum 2013 dengan menyeimbangkan aspek spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan.
Akibat dari kelalaian proses pendidikan amat terasa secara nasional dengan hilangnya identitas kebudayaan nasional yang merupakan ciri kebangsaan seperti saling menghargai, gotong royong, kerja keras, bela rasa, ulet, dan lain-lain. Kebanyakan para anak bangsa seolah-olah telah tercabut dari kebudayaan nasional yang berciri ke-indonesia-an dengan lebih bangga menampilkan nilai-nilai baru yang bertolak belakang dengan identitas kebudayaan nasional.
Berbagai lembaga sosial dalam masyarakat telah merasakan pahitnya ketercabutan identitas kebudayaan nasional ini. Bangsa yang terkenal religius ini justru melekat dengan praktek korupsi yang merajalela. Praksis keagamaan sepertinya tidak menyentuh kehidupan nyata. Tak hanya itu saja, di kalangan umat Islam disadari ada kecenderungan memraktekkan identitas Islam Timur Tengah dari pada identitas Islam Nusantara, dan di kalangan umat Kristiani ada kecenderungan memraktekkan identitas Kristen Eropa dari pada identitas Kristen Indonesia.
Di sisi lain, kita juga menemukan beragam perilaku yang bercorak individualisme, hedonisme, materialisme, dan seks bebas yang telah pula menghilangkan identitas kebudayaan nasional yang lebih mencintai kebersamaan dan kekeluargaan, kerja keras, dan pemuasan kebutuhan yang lebih bercorak kepuasan batin dalam kebersamaan dengan orang lain.
Yang lebih berbahaya dari semuanya adalah praksis kehidupan politik dan demokrasi yang tampak lewat penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian yang sedang marak akhir-akhir ini. Ini telah nyata-nyata meniadakan identitas kebudayaan nasional yang lebih bercorak musyawarah untuk mufakat, cinta akan kebaikan, dan menghargai orang lain. Pada tataran ini bila tidak mendapat perhatian serius tentunya akan menggiring bangsa Indonesia yang tercinta ini untuk mengalami nasib yang sama seperti negara-negara lain yang sedang bertikai dewasa ini.
Back to Basic
Kita tentunya tak menghendaki kenyataan yang demikian terjadi di bumi nusantara yang tercinta ini. Kebudayaan yang berciri Indonesia harus tetap lestari dan abadi. Ini dapat mewujud dalam kenyataannya bila semua elemen masyarakat bersepakat dengan satu tekad yang sama untuk memerkokoh proses penguatan pendidikan baik lewat institusi formal maupun non-formal.
Kebudayaan dapat lestari melalui proses pendidikan atau dengan perkataan lain pendidikan akan melestarikan dan meningkatkan kebudayaan. Prinsipnya adalah menguatkan pendidikan dalam aneka jenjang dan bentuknya secara bersama, dengan satu prinsip untuk menanamkan identitas kebudayaan nasional dan serentak pula dapat memajukan kebudayaan baik material/fisik maupun non-material melalui upaya pemajuan karakter kebangsaan.
Kita kembali kepada proses pendidikan anak dalam keluarga. Orang tua harus menyadari tugas dan tanggung jawabnya dalam proses pendidikan anak, dalam mana orang tua adalah pendidik pertama, dan rumah adalah sekolah pertama dalam menjalankan proses pendidikan. Dalam prosesnya, orang tua perlu meluangkan banyak waktu untuk menjalin interaksi dan komunikasi dengan anak-anak, sekaligus menjalankan fungsi kontrol yang maksimal terhadap pemanfaatan dan penggunaan media komunikasi yang ada secara bertanggung jawab.
Selanjutnya masyarakat sebagai laboratorium praksis pendidikan yang lebih luas, sejatinya menjalankan fungsi social control terhadap beragam kemajuan yang tidak manusiawi. Ini akan lebih jitu dan efektif bila masyarakat menjadi model hidup dalam melaksanakan nilai-nilai kebudayaan nasional. Masyarakat juga semestinya memperkuat proses saring dan sharing. Proses saring berarti kemampuan meminimalisai atau meniadakan segala akses yang bersifat negatif dan berdaya merusak kesejatian identitas kebudayaan nasional. Sedangkan proses sharing berarti kemampuan menyebarluaskan aspek-aspek positif dari setiap kemajuan untuk memajukan kebudayaan nasional.
Maksud ini dapat berjalan maksimal bila semua elemen lembaga sosial (adat, agama, politik, ekonomi) senantiasa aktif memanfaatkan media komunikasi untuk mensosialisasikan identitas kebudayaan nasional dalam rangka penguatan pendidikan nasional demi memajukan kebudayaan nasional. Dan, pada saat yang sama dapat memanfaatkan berbagai peluang yang ada untuk memperkuat identitas kebangsaan melaui proses penguatan pendidikan yang selaras zaman.
Pada akhirnya, kita harus kembali kepada lembaga pendidikan formal yaitu sekolah. Di sana ada guru sebagai pendidik dan pengajar. Peran sentral guru menjadi sangat dominan. Guru sejatinya menjadi rule of model yang menyelaraskan kata dan perbuatan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Maraknya kasus kekerasan terhadap pendidik dan peserta didik harus menyadarkan para guru untuk lebih memainkan perannya sebagai rule of model bagi peserta didik, dari pada sekedar kata-kata tanpa mengikutinya dengan praksis hidup yang wajar dan layak.
Bahaya lain yang tampak ke permukaan dewasa ini bahwasanya identitas guru hanya melekat dengan mata pelajaran yang diampuh. Seharusnya identitas guru melekat dengan peserta didik, dan sebaliknya. Itu artinya bahwa guru harus senantiasa aktif dan terlibat dalam seluruh proses pendidikan peserta didik di sekolah, tetapi bukan sekedar melalui proses pembelajaran dalam mata pelajarannya saja.
Di samping itu pula, faktor desakan ekonomi telah memaksa para guru untuk lebih banyak waktu di luar kelas dan sekolah. Ini amat berbahaya karena ada praksis mengabaikan proses pendidikan, sehingga berpotensi merusak identitas kebudayaan bangsa, karena proses pendidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kebijakan yang memihak kesejateraan guru perlu mendapat perhatian serius agar proses penguatan pendidikan dapat berjalan dengan baik dan maksimal.
Lembaga pendidikan tidak cukup dengan menerapkan kurikulum termutakhir. Lebih dari itu adalah isi dan praksis kurikulum harus benar-benar menjawab kebutuhan untuk memajukan peradaban kebudayaan nasional karena bangsa yang kuat dan maju pendidikannya akan secara bersamaan tetap mencintai dan memraktekakan identitas kebudayaan nasionalnya.
Mereka membuka diri terhadap perubahan, tetapi tidak melupakan dan menolak identitas kebudayaan nasional. Dan ini menjadi harapan besar para founding father/mother negara ini, agar para generasi muda senantiasa terbuka terhadap perubahan, dengan tetap mencintai nilai-nilai yang menjadi ungkapan jati diri kebudayaan bangsa Indonesia. Harapan terdalam dari semuanya adalah kokohnya pendidikan nasional untuk memajukan kebudayaan nasional yang berciri ke-indonesia-an.
Andreas Neke
Manusia dalam dirinya adalah makhluk sosial yang senantiasa ada dan hidup bersama orang lain. Perwujudan realitas tersebut semakin tak terbantahkan dalam kenyataan perkembangan teknologi dan informasi dewasa ini. Yang dengannya berarti bahwa kemajuan teknologi dan informasi telah membantu manusia dalam mewujudkan dimensi sosialitasnya dengan meniadakan sekat yang memisahkan manusia, baik antar individu maupun antar kelompok.
Pertumbuhan dan perkembangan media komunikasi sangat memudahkan manusia untuk mengakses informasi, sehingga pembaruan dan pertukaran informasi bisa terjadi dengan sangat cepat, dan dengan sangat cepat pula memengaruhi pola pikir dan pola laku individu dan masyarakat. Kenyataan ini menimbulkan pergeseran nilai-nilai agama, sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi ciri khas kebudayaan suatu kelompok masyarakat tertentu.
Sejarah mencatat bahwa kebudayaan nasional telah memiliki peradaban yang tinggi. Kemajuan peradaban dapat terjadi karena kontak dengan masyarakat yang berkebudayaan lain, dalam mana kemudian terjadi pertukaran informasi yang memungkinkan terjadinya perubahan peradaban bangsa.
Semua yang dicapai tidak tampak dalam kemajuan material/fisik semata-mata, tetapi bersamaan dengannya bertumbuh pula karakter kebangsaan yang kuat, sehingga telah melahirkan tokoh-tokoh besar yang patut ditiru karena ketokohannya dalam sejarah peradaban kebudayaan nasional. Hal ini dapat berlangsung baik karena adanya upaya yang serius untuk mengejar kemajuan material/fisik tanpa meniadakan penguatan karakter kebangsaan melalui proses penguatan fungsi dan peran pendidikan dalam aneka jenjang dan bentuknya.
Luntur dan Memudarnya Kebudayaan Nasional
Tak terpungkiri bahwa nilai-nilai kebudayaan nasional telah meluntur secara perlahan namun pasti. Pola pikir kekinian telah memengaruhi generasi zaman now, sehingga berimbas pula pada praksis hidup yang kerap berseberangan atau berlawanan dengan kebudayaan lokal, sebagai pembentuk identitas kebudayaan nasional. Kita boleh mengatakan bahwa praksis hidup generasi zaman now sepertinya telah tercabut dari akar kebudayaan nasional, sehingga menumbuhkan praksis hidup yang cenderung bertentangan dengan cita rasa kebudayaan nasional yang berciri ke-indonesia-an.
Pada saat yang sama, fakta membuktikan bahwa tahapan kemajuan bangsa lebih condong pada kemajuan material/fisik. Kita melupakan esensi dari setiap kemajuan yaitu memanusiakan manusia. Ini artinya bahwa setiap kemajuan yang digapai harus pula membarenginya dengan penguatan karakter kebangsaan yang mumpuni seperti kedisiplinan, kerja keras, kejujuran, toleransi, serta malu berbuat curang atau memperoleh hasil dengan cara gampangan dan murahan melalui proses penguatan pendidikan. Dan ini boleh dikatakan sebagai sebuah kemunduran, karena tahapan kemajuan bangsa sampai saat ini justru adalah hasil dan buah dari kedisiplinan, kerja keras, kejujuran, dan kemauan untuk memperoleh hasil maksimal dengan cara yang wajar dan terpuji.
Kemajuan material/fisik sangat membantu manusia dalam menjalankan aktifitas hariannya. Kemajuan dalam bidang informasi misalnya, telah menyatukan manusia dengan meniadakan sekat yang membatasi manusia yang berbeda latar belakang agama, suku, bangsa, dan benua sehingga saling mendekatkan manusia yang satu dengan yang lainnya.
Namun demikian, kita patut menyadari pula bahwa kemajuan material/fisik ini diraih tanpa dibarengi oleh penguatan karakter kebangsaan melalui proses pendidikan yang kokoh, sehingga telah menjerumuskann generasi zaman now ke dalam jurang kehancuran. Kemajuan yang demikian adalah semu, karena sejatinya sebuah kemajuan material/fisik tidak boleh meniadakan esensi kemanusiaan dalam hubungannya dengan pendidikan karakter kebangsaan.
Semuanya akan tampak ke permukaan manakala kita menyaksikan dan mengalami pemanfaatan media komunikasi secara kurang bertanggung jawab pada masa kini. Kemajuan teknologi dan informasi telah menjerumuskan generasi zaman now ke dalam praksis hidup yang berseberangan dengan cita rasa kebangsaan seperti penyebaran berita hoaks, ujaran kebencian, fitnah, penjualan NARKOBA, dan seks bebas.
Kenyataan ini menggugah setiap insan yang mencintai kebudayaan lokal yang nota bene adalah pembentuk identitas kebudayaan nasional. Kita tentu akan mencari akar yang menjadi penyebabnya. Dan tak dapat dipungkiri bahwa lunturnya kebudayaan nasional dewasa ini karena telah melalaikan proses pendidikan dalam arti luas. Proses pendidikan tak terjadi sebagaimana mestinya sehingga mengalami keterputusan yang menyebabkan gap yang memisahkan satu generasi dengan generasi lainnya, dan menyebabkan proses transfer dan estafet kebudayaan tidak berlangsung sebagaimana mestinya.
Melalaikan Proses Pendidikan
Luntur dan memudarnya kebudayaan nasional merupakan akibat dari sebuah kelalaian dalam proses pendidikan. Kita terlalu lama larut dan terjerumus dalam arus perkembangan material/fisik tanpa merasa perlu membentengi generasi penerus dengan dasar kebudayaan lokal yang kokoh sebagai pembentuk karakter kebudayaan nasional.
Sudah semestinya generasi zaman now tidak mengkambinghitamkan kelalaian yang ada kepada lembaga pendidikan formal semata. Pendidikan adalah tanggung jawab semua individu dalam aneka jenjang dan bentuknya. Ini berarti bahwa kelalaian pendidikan juga adalah kelalaian individu sebagai individu, dan individu dalam berbagai lembaga sosial yang ada dalam masyarakat.
Keluarga merupakan lembaga elementer dalam proses pendidikan. Orang tua sejatinya adalah guru pertama dan utama dalam keluarga. Ini berarti juga bahwa rumah sejatinya menjadi sekolah pertama dan utama dalam proses penanaman nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam upaya membentuk identitas kebudayaan nasional.
Secara faktual kita mengalami bahwa rumah tidak lagi menjadi sekolah nilai. Serentak dengan itu pula bahwa orang tua tidak lagi memainkan perannya sebagai guru pertama dan utama dalam proses pendidikan anak. Terhadap beragam perilaku negatif anak dewasa ini, yang terjadi adalah pelemparan tanggung jawab keluarga dan orang tua kepada guru dan sekolah. Orang tua menganggap bahwa guru adalah pendidik utama, dan sekolah bertanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan proses pendidikan anak.
Orang tua sepertinya lupa bahwa mereka sebenarnya telah gagal menjadi orang tua yang baik bagi anak-anak, karena mereka lebih dekat dan sayang kepada TV, internet, game, handphone dan android atau gadged, sehingga proses interaksi dan komunikasi yang menjadi jantung kehidupan keluarga menjadi sangat minim. Orang tua lebih sibuk dan peduli dengan individu dan keadaan di luar rumah dari pada anak-anak yang merupakan bagian nyata dari kehidupannya.
Pengabaian terhadap prinsip ini akan berakibat fatal. Pendidikan tidak sekedar terjadi dan berlangsung pada institusi formal, tetapi lebih dari itu harus kembali ke dasarnya yaitu keluarga. Keluarga adalah sekolah pertama dari sebuah proses pendidikan. Serentak dengan itu bahwa orang tua adalah guru pertama dan utama dari sebuah proses pendidikan tersebut. Pendidikan dalam proses mentransfer dan mengestafetkan kebudayaan nasional pertama-tama adalah tanggung jawab orang tua, dan serentak pula terjadi dalam rumah sebagai sekolah pertama dalam menjalankan proses tersebut.
Masyarakat yang mencakup teman sebaya atau kelompok bermain dan berbagai lembaga sosial dalam masyarakat, turut bertanggung jawab dalam proses pendidikan individu. Lembaga masyarakat adalah cakupan dan ruang lingkup yang lebih luas dalam menjalankan proses pendidikan. Ini berarti bahwa lembaga masyarakat sejatinya menjadi sarana lanjutan dari proses pendidikan untuk mentransfer dan mengestafetkan identitas kebudayaan nasional.
Kenyataannya justru berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan. Secara kasat mata, kita dapat menemukan dan menyaksikan bahwa lembaga masyarakat lebih menampilkan perilaku dan perihidup yang berseberangan dengan identitas kebudayaan nasional. Lembaga masyarakat tidak lagi menjadi arena yang layak untuk mengaktualisasikan proses pendidikan, sehingga tanpa disadari telah memberikan andil yang sangat besar untuk memusnahkan identitas kebudayaan nasional.
Selanjutnya kita harus menyebut lembaga pendidikan formal yaitu sekolah dalam aneka jenjang dan bentuknya. Kita kiranya tak berani membantah bahwasanya lembaga pendidikan telah sangat lama menekankan aspek pengetahuan dan sedikit memberi perhatian pada aspek spiritual, sosial, dan keterampilan dalam proses pendidikan.
Kita telah memanen buahnya kini. Maraknya beragam perilaku negatif dalam masyarakat baik di kalangan pejabat maupun masyarakat pada umumnya merupakan hasil dari kelalaian dalam proses pendidikan. Namun demikian, kita patut bersyukur karena kenyataan yang ada telah disadari oleh para stakeholder negara tercinta ini sehingga ada niat baik dalam upaya membenahi kurikulum pendidikan yang sedang terjadi melalui penerapan Kurikulum 2013 dengan menyeimbangkan aspek spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan.
Akibat dari kelalaian proses pendidikan amat terasa secara nasional dengan hilangnya identitas kebudayaan nasional yang merupakan ciri kebangsaan seperti saling menghargai, gotong royong, kerja keras, bela rasa, ulet, dan lain-lain. Kebanyakan para anak bangsa seolah-olah telah tercabut dari kebudayaan nasional yang berciri ke-indonesia-an dengan lebih bangga menampilkan nilai-nilai baru yang bertolak belakang dengan identitas kebudayaan nasional.
Berbagai lembaga sosial dalam masyarakat telah merasakan pahitnya ketercabutan identitas kebudayaan nasional ini. Bangsa yang terkenal religius ini justru melekat dengan praktek korupsi yang merajalela. Praksis keagamaan sepertinya tidak menyentuh kehidupan nyata. Tak hanya itu saja, di kalangan umat Islam disadari ada kecenderungan memraktekkan identitas Islam Timur Tengah dari pada identitas Islam Nusantara, dan di kalangan umat Kristiani ada kecenderungan memraktekkan identitas Kristen Eropa dari pada identitas Kristen Indonesia.
Di sisi lain, kita juga menemukan beragam perilaku yang bercorak individualisme, hedonisme, materialisme, dan seks bebas yang telah pula menghilangkan identitas kebudayaan nasional yang lebih mencintai kebersamaan dan kekeluargaan, kerja keras, dan pemuasan kebutuhan yang lebih bercorak kepuasan batin dalam kebersamaan dengan orang lain.
Yang lebih berbahaya dari semuanya adalah praksis kehidupan politik dan demokrasi yang tampak lewat penyebaran berita hoaks dan ujaran kebencian yang sedang marak akhir-akhir ini. Ini telah nyata-nyata meniadakan identitas kebudayaan nasional yang lebih bercorak musyawarah untuk mufakat, cinta akan kebaikan, dan menghargai orang lain. Pada tataran ini bila tidak mendapat perhatian serius tentunya akan menggiring bangsa Indonesia yang tercinta ini untuk mengalami nasib yang sama seperti negara-negara lain yang sedang bertikai dewasa ini.
Back to Basic
Kita tentunya tak menghendaki kenyataan yang demikian terjadi di bumi nusantara yang tercinta ini. Kebudayaan yang berciri Indonesia harus tetap lestari dan abadi. Ini dapat mewujud dalam kenyataannya bila semua elemen masyarakat bersepakat dengan satu tekad yang sama untuk memerkokoh proses penguatan pendidikan baik lewat institusi formal maupun non-formal.
Kebudayaan dapat lestari melalui proses pendidikan atau dengan perkataan lain pendidikan akan melestarikan dan meningkatkan kebudayaan. Prinsipnya adalah menguatkan pendidikan dalam aneka jenjang dan bentuknya secara bersama, dengan satu prinsip untuk menanamkan identitas kebudayaan nasional dan serentak pula dapat memajukan kebudayaan baik material/fisik maupun non-material melalui upaya pemajuan karakter kebangsaan.
Kita kembali kepada proses pendidikan anak dalam keluarga. Orang tua harus menyadari tugas dan tanggung jawabnya dalam proses pendidikan anak, dalam mana orang tua adalah pendidik pertama, dan rumah adalah sekolah pertama dalam menjalankan proses pendidikan. Dalam prosesnya, orang tua perlu meluangkan banyak waktu untuk menjalin interaksi dan komunikasi dengan anak-anak, sekaligus menjalankan fungsi kontrol yang maksimal terhadap pemanfaatan dan penggunaan media komunikasi yang ada secara bertanggung jawab.
Selanjutnya masyarakat sebagai laboratorium praksis pendidikan yang lebih luas, sejatinya menjalankan fungsi social control terhadap beragam kemajuan yang tidak manusiawi. Ini akan lebih jitu dan efektif bila masyarakat menjadi model hidup dalam melaksanakan nilai-nilai kebudayaan nasional. Masyarakat juga semestinya memperkuat proses saring dan sharing. Proses saring berarti kemampuan meminimalisai atau meniadakan segala akses yang bersifat negatif dan berdaya merusak kesejatian identitas kebudayaan nasional. Sedangkan proses sharing berarti kemampuan menyebarluaskan aspek-aspek positif dari setiap kemajuan untuk memajukan kebudayaan nasional.
Maksud ini dapat berjalan maksimal bila semua elemen lembaga sosial (adat, agama, politik, ekonomi) senantiasa aktif memanfaatkan media komunikasi untuk mensosialisasikan identitas kebudayaan nasional dalam rangka penguatan pendidikan nasional demi memajukan kebudayaan nasional. Dan, pada saat yang sama dapat memanfaatkan berbagai peluang yang ada untuk memperkuat identitas kebangsaan melaui proses penguatan pendidikan yang selaras zaman.
Pada akhirnya, kita harus kembali kepada lembaga pendidikan formal yaitu sekolah. Di sana ada guru sebagai pendidik dan pengajar. Peran sentral guru menjadi sangat dominan. Guru sejatinya menjadi rule of model yang menyelaraskan kata dan perbuatan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Maraknya kasus kekerasan terhadap pendidik dan peserta didik harus menyadarkan para guru untuk lebih memainkan perannya sebagai rule of model bagi peserta didik, dari pada sekedar kata-kata tanpa mengikutinya dengan praksis hidup yang wajar dan layak.
Bahaya lain yang tampak ke permukaan dewasa ini bahwasanya identitas guru hanya melekat dengan mata pelajaran yang diampuh. Seharusnya identitas guru melekat dengan peserta didik, dan sebaliknya. Itu artinya bahwa guru harus senantiasa aktif dan terlibat dalam seluruh proses pendidikan peserta didik di sekolah, tetapi bukan sekedar melalui proses pembelajaran dalam mata pelajarannya saja.
Di samping itu pula, faktor desakan ekonomi telah memaksa para guru untuk lebih banyak waktu di luar kelas dan sekolah. Ini amat berbahaya karena ada praksis mengabaikan proses pendidikan, sehingga berpotensi merusak identitas kebudayaan bangsa, karena proses pendidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kebijakan yang memihak kesejateraan guru perlu mendapat perhatian serius agar proses penguatan pendidikan dapat berjalan dengan baik dan maksimal.
Lembaga pendidikan tidak cukup dengan menerapkan kurikulum termutakhir. Lebih dari itu adalah isi dan praksis kurikulum harus benar-benar menjawab kebutuhan untuk memajukan peradaban kebudayaan nasional karena bangsa yang kuat dan maju pendidikannya akan secara bersamaan tetap mencintai dan memraktekakan identitas kebudayaan nasionalnya.
Mereka membuka diri terhadap perubahan, tetapi tidak melupakan dan menolak identitas kebudayaan nasional. Dan ini menjadi harapan besar para founding father/mother negara ini, agar para generasi muda senantiasa terbuka terhadap perubahan, dengan tetap mencintai nilai-nilai yang menjadi ungkapan jati diri kebudayaan bangsa Indonesia. Harapan terdalam dari semuanya adalah kokohnya pendidikan nasional untuk memajukan kebudayaan nasional yang berciri ke-indonesia-an.