-->

KERJA MAKSIMUM VS UPAH MINIMUM

KERJA MAKSIMUM VS UPAH MINIMUM

(Menyoal Prinsip Upah Buruh)

Persoalan antara pekerja (buruh) dengan pemberi kerja di negara ini telah mengundang polemik berkepanjangan. Tarik ulur kepentingan kedua belah pihak belum menemukan titik terang. Pemberi kerja menuntut profesionalitas, kinerja, dan produktivitas, sedangkan buruh mengharapkan upah yang layak dan adil.

Penetapan besaran Upah Minimum Propinsi (UMP) yang berdasar pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak, ternyata tidak mampu menjawab polemik ini.

Persoalan masih mengemuka karena dua alasan dasar. Pertama, term upah minimum kurang diterima oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) karena bertentangan dengan Konvensi Internasional tentang HAM. Kedua, survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) antara kelompok buruh dengan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian KHL berbeda signifikan.

Kedua masalah ini belum sampai pada solusi praktis. Term UMP tetap digunakan dan pemberlakuannyapun masih mengabaikan komponen KHL. Kondisi faktual masih diperparah oleh pemberlakuan upah di bawah UMP dan mental kapitalis para pemberi kerja yang lebih mengejar keuntungan dengan mengabaikan penghormatan terhadap martabat manusia.

Realitas tersebut menunjukkan telah terabaikannya prinsip keadilan. Ini seolah membenarkan bahwa keadilan sering sebatas jargon yang biasa diucapkan masyarakat tetapi teramat sulit untuk diwujudkan dalam realitas hidup praktis.

Upah yang Layak dan Adil

Salah satu unsur penting dalam menunjang relasi kerja yang harmonis antara pihak pemberi kerja dengan pekerja adalah gaji/upah. Banyak ahli berpendapat bahwa gaji/upah merupakan balas jasa atas pekerjaan yang diberikan secara periodik. Balas jasa tersebut berupa sejumlah besar uang sebagai alat pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Upah juga menjadi sarana untuk memotivasi pelaksanaan pekerjaan di masa mendatang. Dengan berlakunya upah yang layak dan adil, para pekerja akan lebih giat dan efektif bekerja, meningkatkan kinerja dan produktivitas, serta mengimbangi kekurangan dan keterlibatan komitmen atas pekerjaan.

Pengabaian terhadap pemberian upah yang layak dan adil mengarah pada pemerasan dan perbudakan. Disebut demikian karena telah terjadi pengerusan tenaga, waktu, dan keahlian demi keuntungan sepihak. Pihak pemberi kerja memperoleh keuntungan tetapi para pekerja merugi.

Realitas tersebut mengharuskan pemberlakuan prinsip keadilan kerja dan upah. Prinsip ini dapat mewujudkan kepedulian (sense of belonging) dan tanggung jawab (sense of responsibility) pekerja kepada pemberi kerja.

Kesadaran ini telah mendorong perusahaan-perusahaan modern untuk mengaitkan upah dengan kinerja. Semakin besar upah yang diberikan semakin besar kinerja dan kesetiaan, sebaliknya semakin kecil upah yang diberikan semakin kecil pula kinerja dan kesetiaan pekerja.

Pasal 27 UUD 1945 menyebut bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Selain itu, UU No. 32 tahun 2003 menjelaskan bahwa upah merupakan hak yang harus diterima oleh pekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup layak bagi kemanusiaan.

Untuk mewujudkan upah yang memenuhi taraf hidup layak bagi kemanusiaan, pemerintah telah menetapkan kebijakan pengupahan dalam bentuk UMP (Upah Minimum Propinsi), UMSP (Upah Minimum Sektoral Propinsi), UMK (Upah Minimum Kabupaten, dan UMSK (Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota).

Ketentuan hukum mengatur bahwa UMP, UMSP, UMK, dan UMSK berlaku khusus bagi pekerja lajang dengan masa kerja masih kurang dari satu tahun, sedangkan bagi pekerja yang sudah menikah atau telah bekerja lebih dari satu tahun tidak boleh hanya berdasar pada UMP saja.

UU juga mengatur struktur dan skala upah berdasarkan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, kompetensi kerja, kemampuan perusahaan, kinerja dan produktivitas pekerja, serta sanksi bagi pekerja yang melanggarnya. Ini bermaksud menjaga harmonisasi dan memberikan jaminan kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial di antara para pekerja.

Di atas segalanya pemberlakuan upah yang layak dan adil berkaitan langsung dengan penghormatan terhadap martabat manusia. Semakin tinggi upah yang diberikan, semikin tinggi penghormatan terhadap martabat manusia, sedangkan semakin kecil upah yang diberikan berarti semakin kecil penghormatan terhadap martabat manusia.

Penghormatan terhadap martabat manusia mengharuskan kemampuan bersikap dan berperilaku adil. Prinsip adil berarti memberi yang menjadi hak orang lain dan menuntut sejauh batas kewajaran. Dengan perkataan lain jika memberi sedikit berarti menuntut sedikit, dan sebaliknya memberi banyak berarti dapat menuntut banyak.

Jika terjadi sebaliknya berarti ada penyimpangan terhadap martabat manusia. Dalam penyimpangan tersebut telah terjadi eksploitasi yang mewujud dalam sikap lebih menuntut kinerja dan produktivitas tetapi mengabaikan upah yang layak dan adil sebagai hak para pekerja.

Gagasan tentang kerja dan upah mengantar kita untuk memahami kepenuhannya dalam Kitab Suci dan Ajaran Gereja. Bila membaca Perjanjian Lama, kita akan menemukan keterkaitan antara keadilan dengan kebenaran. Bertindak adil berarti berlaku benar.

Keadilan adalah cara yang benar bagi seseorang untuk membawakan diri dan memperlakukan orang lain. Gagasan dasarnya bersumber dari keadilan Allah yang memelihara, melindungi, dan menyelamatkan manusia.

Sedangkan Perjanjian Baru merujuk prinsip Luk 10:7, “Seorang pekerja patut mendapatkan upahnya”, dan Rom 4:4, “Kalau ada orang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai hadiah, tetapi sebagai haknya”. Orang harus menentukan upah yang adil terhadap orang yang diupah. Adalah dosa berat menahan upah seorang pekerja karena upah melambangkan akibat yang tak terelakkan dari suatu tindakan/pekerjaan.

Konsep keadilan dalam Ajaran Gereja merujuk pada gagasan Thomas Aquinas. Aquinas menyebut keadilan sebagai pendirian yang teguh dan tetap untuk memberikan kepada yang lain apa yang menjadi haknya. Ensiklik Laborem Exercens (LE) mengaitkannya dengan martabat manusia. Semua orang, termasuk orang yang bergantung dari orang lain dan para pekerja, harus diperlakukan sebagai ciptaan yang bermartabat.

Lebih lanjut LE menjelaskan bahwa kerja merupakan tema sentral hidup manusia. Manusia berhak atas kerja demi kelangsungan hidupnya sehingga membuat hidup keluarga bahagia dan berkecukupan. Manusia bukan alat produksi dan instrumen kemajuan. Sebaliknya manusia berhak untuk bekerja, sekaligus berhak atas upah yang layak dan adil agar makin hidup secara manusiawi.

Pada prinsipnya nilai martabat manusia tak terbeli. Upah sebesar apapun tak dapat membayar manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Namun demikian, kesepahaman harus tumbuh bahwa perlakuan yang adil dan benar terhadap manusia berarti menghormati manusia dan martabatnya.

Hal yang sama berlaku pula dalam sistem kerja dan upah. Kedua sistem ini harus mengarah langsung kepada manusia sebagai ungkapan penghormatan tertinggi terhadapnya. Keadilan kerja dan upah sejatinya memanusiakan manusia dalam setiap pekerjaan yang dilaksanakan dan upah yang diterima.

Akhirnya bersamaan dengan gagasan May Day tiap-tiap tahun, setiap insan pekerja diajak untuk berpikir ulang tentang sistem kerja dan pengupahan yang sedang berlaku. Sistem kerja dan upah yang adil merupakan bentuk penghormatan tertinggi kepada manusia agar hidup lebih manusiawi. Gagasan ini akan selaras dengan prinsip HAM dan cita-cita pengentasan kemiskinan yang didambakan oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia.

LihatTutupKomentar