-->

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK YANG BEKERJA

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK YANG BEKERJA

Pendahuluan

Kita tentunya tak asing dengan kerja. Kerja secara sederhana dapat dirumuskan sebagai aktivitas atau kegiatan dalam melakukan sesuatu. Aktivitas atau kegiatan ini oleh orang yang berbahasa Inggris disebut to work, dan bahasa Latin labor.

Secara sederhana kita mengerti bahwa dengan bekerja seseorang menghasilkan sesuatu. Dengan bekerja seseorang mengerahkan segenap energi/tenaga dalam menyelenggarakan proses produksi untuk memenuhi kebutuhannya, baik jasmani maupun rohani. Kerja berarti usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dewasa ini kita menyaksikan manusia menjadi hamba kerja. Atau dengan perkataan lain, kerja menjadi prioritas hidup lewat pengabaian beberapa dimensi manusiawi. Kenyataan yang demikian memungkinkan pemanipulasian manusia. Dengannya terjadi dehumanisasi dimana manusia bukan menjadi subyek tetapi obyek kerja.

Gagasan di atas kiranya sangatlah terbatas untuk mengungkapkan makna kerja. Namun demikian kiranya hidup juga dalam benak kebanyakan manusia modern dewasa ini. Hal ini bisa kita telusuri dengan melihat bagaimana manusia modern bekerja. Mereka bekerja hanya sebatas “untuk menghasilkan sesuatu”. Dan untuk mewujudkan tujuan tersebut manusia rela menjadi budak/hamba dan obyek kerja.

Dinamika Kerja

Dalam masyarakat primitif yang masih hidup berpindah-pindah tempat belum dikenal domestifikasi manusia, tanaman, pun ternak. Corak hidup nomad yang mengembara dari tempat yang satu ke tempat yang lain menjadi ciri utama, pun dalam pemenuhan kebutuhan hidup harian.

Mereka bekerja sebagai pemburu, pengumpul hasil hutan, dan sebagai penangkap ikan. Selain itu mereka juga bekerja sebagai peternak. Ini terutama berada di kawasan Asia dan Afrika. Kawasan ternak yang luas menuntut pula kehidupan mengembara. Ini dapat dimaklumi karena sangat bertalian dengan penggembalaan ternak dengan kebutuhan dasar akan padang rumput dan air.

Cara hidup nomad kemudian berubah ke cara hidup sedenter. Manusia membentuk komunitas-komunitas pertanian. Mereka mulai mengenal bentuk kerja baru yakni bertani. Pola hidup bertani perlahan mulai menjanjikan ketercukupan pangan. Pelan-pelan terciptalah spesialisasi pekerjaan dalam beragam bentuk seperti petani, tukang, nelayan, peternak, dan lain-lain.

Pembentukan komunitas dan melimpahnya hasil pertanian memungkinkan ledakan penduduk. Serentak dengan itu pula menghantar manusia memasuki masa industrial yang memungkinkan komunitas manusia dapat bergerak dengan cepat. Perlahan masyarakat manusia mulai melepaskan diri dari ketergantungan kepada alam, dan mulailah manusia menguasai dan mengatasi alam. Manusia kemudian menjadi tuan atas alam.

Cara hidup masyarakat industri memungkinkan manusia memperluas bidang karya dan bentuk kerja baru. Penemuan mesin uap dan menyusul penemuan-penemuan lainnya memungkinkan produksi dalam kapasitas besar. Penemuan-penemuan baru membawa evolusi baru yang mempermudah transportasi, pengangkutan, dan mobilitas manusia.

Akhir-akhir ini beragam penemuan baru memungkinkan efektivitas kerja manusia. Semuanya menunjukkan perkembangan sistem, pola, dan bentuk kerja manusia. Perkembangan ini membuktikan kecerdasan dan kreativitas manusia. Manusia pada era industri tidak lagi bergantung kepada alam tetapi pada kemampuan dan kreativitasnya dalam memanfaatkan dan mengolah alam.

Dengannya kita dapat mengatakan bahwa kerja berasal dari manusia. Perkembangannya sangat bergantung dari perkembangan manusia itu sendiri. Konsep manusia tentang kerjapun sangat bergantung pada perkembangan yang dilatarbelakangi oleh situasi, tradisi, dan kebutuhan manusia itu sendiri. Dengan demikian konsep kerja mengalami dinamika dari masa ke masa.

Kerja sebagai Berkat dan Mandat

Kerja menurut mitos penciptaan bangsa Timur Tengah Antik merupakan tugas dan kewajiban para dewa. Manusia dicipta untuk melayani para dewa. Kerja dilihat sebagai beban yang ditanggungkan para dewa kepada manusia. Nasib manusia sejak awalnya telah ditakdirkan untuk bekerja demi melayani para dewa.

Gagasan ini berseberangan dengan gagasan biblis. Kitab Kejadian (2:15.26-28;3:17) merumuskan bahwa manusia diciptakan dalam hubungannya dengan Allah sendiri. Hubungan ini bukanlah sesuatu yang ditambahkan, melainkan sebagai eksistensi yang dengannya manusia senantiasa berada dalam hubungan dengan Allah. Jadi, segala sesuatu yang terjadi antara Allah dan manusia senantiasa dalam bingkai relasi antar keduanya.

Penciptaan manusia mempunyai tujuan tertentu. Manusia adalah tuan atau raja atas ciptaan. Gagasan ini haruslah dimengerti dalam konsep kerajaan, di mana raja bertanggung jawab atas kerajaannya. Ini berarti bahwa Allah memberi kuasa kepada manusia bukan untuk mengeksploitasi alam, tetapi untuk membudayakannya.

Gagasan dasar atasnya mengandung pengertian bahwa manusia diberkati oleh Allah. Sebagai yang terberkati, manusia ditugaskan untuk menjadi dan membawa berkat bagi manusia dan dunia melalui kerjanya. Dengannya kita megerti bahwa setiap usaha manusia merupakan efek dari berkat penciptaan. Kerja menjadi berkat bagi manusia dan dunia dalam usaha untuk membudayakan lingkungannya.

Kitab Kejadian menceritakan bahwa Allah menciptakan manusia dan menempatkannya di taman Eden. Yahwe menyatakan secara eksplisit tujuan keberadaan manusia di taman tersebut yakni untuk “mengusahakan dan memelihara taman itu” (Kej 2:15b). Melalui proses penciptaan kita mengetahui bahwa Allah menciptakan manusia (2:7), memberi sarana untuk hidup (2:8), dan menugaskannya untuk bekerja (2:15), serta untuk hidup bersama orang lain (2:18-24).

Dengan demikian gagasan dasar Kitab Kejadian mengandung pengertian bahwa kerja merupakan esensi dari eksistensi manusia sebagai makhluk tercipta. Eksistensi manusia mempunyai arti dan kepenuhannya dalam kerja. Atau dengan perkataan lain mau mengatakan bahwa manusia adalah manusia bila ia bekerja; manusia bukanlah manusia jika ia tidak bekerja. Manusia mesti mengisi hidupnya dengan sesuatu yang berarti karena Allah telah memberi mandat baginya untuk mengusahakan dan memelihara “taman” yang telah disediakan-Nya.

Pada akhirnya Kitab Kejadian menceritakan bahwa manusia bekerja atau bahkan bekerja keras. Ini mau menunjukkan keterbatasan eksistensi manusia sebagai makhluk yang tercipta. Perempuan menderita dalam hubungan dengan eksistensinya sebagai istri dan ibu (3:16), sedangkan laki-laki dalam hubungannya dengan kerja untuk memperoleh nafkah (3:17). Dengannya manusia mesti bekerja dan tidak mungkin akan mengalami kegagalan.

Dalam Kej 3:17-19, kita menemukan term “semak duri, rumput duri, berpeluh, dan sampai kembali menjadi tanah”. Dengannya mau mengatakan bahwa manusia mesti bekerja keras. Setiap pekerjaan senantiasa mempunyai tantangan yang tak dapat dihindari. Setiap pekerjaan harus dibayar dengan kerja keras. Ini berlangsung seumur hidup, sampai manusia meninggal, kembali menjadi tanah.

Dengan demikian kita memahami bahwa kerja merupakan berkat Allah bagi manusia untuk membudayakan lingkungan. Kerja merupakan mandat dari Allah agar manusia menyempurnakan penciptaan. Dan pada akhirnya, kerja senantiasa mempunyai resiko yang tak dapat dihindari. Proses kerja dan bekerja akan berlangsung sampai manusia kembali menjadi tanah.

Homo Faber

Kerja bukan sekedar bagian integral manusia tetapi menyangkut eksistensi manusia. Alamarhum Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Laborem Exersens menguraikan tentang tujuan kerja manusia. Pertama, menyempurnakan eksistensi manusia sebagai subyek yang berada. Kedua, untuk mengembangkan dunia sebagai manifestasi partisipasi dalam karya penciptaan Allah dalam membentuk sejarah.

Kedua tujuan tersebut menjadi tiang penyanggah bagi martabat manusia, yakni tetap menjadi manusia yang bebas dalam seluruh proses karyanya. Dengannya manusia menjadi aktor yang memulai dan mengakhiri karyanya. Kerja merupakan aktivitas dari, oleh, dan untuk manusia. Atau dengan perkataan lain, “laboring is a man’s making of man”.

Gagasan ini menyatu dengan manusia, yang dengannya tercipta sebuah identifikasi. Ada kesatuan antara manusia dan kerja. Identitas manusia ditentukan oleh apa yang dikerjakannya, dan pekerjaan manusia menunjukkan siapa manusia itu sebenarnya. Oleh karenanya penyatuan identitas ini nyata dalam ungkapan homo faber; manusia adalah makhluk yang bekerja. Bila manusia tidak bekerja berarti bukanlah manusia.

Namun demikian, kiranya perlu diwaspadai pemaknaan kerja itu sendiri. Kerja pada awalnya ada untuk manusia dan bukan sebaliknya. Ini berarti bahwa manusia ada bukan untuk bekerja. Bila realitas ini yang terjadi, kiranya terjadilah devaluasi kerja. Akibat real dari padanya adalah dehumanisasi.

Dehumanisasi itu terjadi karena banyaknya kerja menjadi ukuran pengaktualisasian diri. Kerja menderteminasi manusia, yang dengannya manusia menjadi hamba kerja. Oleh karena itu, manusia mengalami alienasi diri dan depresif, yang dapat mengakibatkan tindakan revolusioner untuk merebut kembali hakikat dirinya yang hilang.

Uraian ini mengharuskan manusia untuk merefleksikan kembali kerja dalam hidupnya. Manusia bekerja bukan demi kerja itu sendiri, tetapi bahwa dengan bekerja ia ada dan hidup sebagai manusia.

Penutup

Kiranya tak seorangpun mau disebut penganggur. Atribut ini menjadi ancaman serius bagi peradaban manusia. Tak jarang agar atribut ini tidak melekat pada person tertentu, orang terpaksa melanggar norma hukum dan moral dengan mengerjakan pekerjaan yang haram. Tak jarang pula kita melihat orang yang begitu “gila kerja”. Kerja menjadi tuan atas dirinya, dan dia menjadi hamba kerja. Terhadap orang yang demikian, kita menyaksikan bahwa kerja menjadi prioritas, sehingga mengabaikan aspek lain dari realitas keberadaan manusiawinya.

Kiranya dua gagasan akhir ini mengawaskan kita untuk merefleksikan dan memaknai secara benar setiap pekerjaan kita. Manusia memang makhluk yang bekerja. Dengan bekerja manusia menjadi berkat bagi diri, sesama, dan lingkungannya. Dengan bekerja juga manusia menjadi co-creator, co-worker, rekan kerja Allah untuk menyempurnakan dunia ke arah yang lebih baik.

Manusia adalah tuan atas pekerjaan, yang dengannya setiap orang yang bekerja merupakan subyek bersama Allah untuk memperbaharui peradaban manusia dan dunia. Manusia bukanlah hamba kerja yang membuatnya menjadi obyek, tetapi tuan yang mengungkapkan identitas manusiawinya sebagai rekan kerja Allah.

LihatTutupKomentar