REMAJA DAN PERSAHABATAN
Catatan Awal
Satu tema penting yang menyentuh langsung keseharian hidup kita yakni persahabatan. Persahabatan menjadi satu topik penting untuk didalami lebih lanjut, mengingat realitas hidup manusia sebagai makhluk sosial, dan serentak dengannya bertalian langsung identitas remaja yang adalah anak sekolah (dan anak sekolah yang remaja) yang sedang menggapai masa depan bersama teman-teman. Dengan demikian, gagasan berikut ini lebih merupakan hasil kajian dan refleksi perihal realitas persahabatan di kalangan remaja.
Remaja dan Identitas
Para psikolog sepakat mendefinisikan masa remaja dengan beragam ciri umum yang melekat di dalamnya. Erikson menyebut masa remaja sebagai masa krisis identitas, [1] dimana sedang dalam proses pembentukan identitas diri ( self identity), yang ditandai oleh identitas yang tidak jelas. Remaja bukanlah anak-anak (walupun tindakannya terkadang masih kekanak-kanakan) tetapi tidak dapat pula disebut dewasa (walaupun ada remaja yang sikap dan tindakannya sangat kebapaan atau keibuan).
Pada kenyataannya dalam diri remaja melekat kecenderungan memberontak dan tak mau diatur. Wujud pemberontakan tersebut tampak dalam ungkapan yang kerap terlontar , “Urus saja urusanmu”, atau “Urusanku bukan urusanmu”. Ini menjadi ciri dasar pemberontakan tersebut, yang akhirnya mengarahkan remaja pada sikap cuek dan acuh tak acuh terhadap aturan dan orang-orang di sekitarnya.
Menarik juga menyimak gagasan yang menyebut bahwa remaja adalah “generasi simpang empat”. [2] Sebenarnya gagasan ini hendak menekankan hal yang sama yakni bahwa remaja belum jelas arah hidupnya dan sedang bingung hendak kemana.
Kecenderungan lain yang melekat di dalamnya adalah “penyakit” asal ikut ramai dan serentak tak berani bertanggungjawab (mandiri, berdikari) atas tindakannya sendiri. Remaja juga kerap diidentikan dengan kenakalan. Perihal yang satu ini kerap terlontar bahwa remaja adalah generasi ngawur dan amburadul yang kerap terlibat dalam tindakan KERA (kenakalan remaja) dan bahkan sampai menjurus kepada tindakan kriminal dan kejahatan moral.
Remaja dalam Kelompok
Identitas remaja sangat kentara dengan pembentukan kelompok-kelompok. Realitas ini sangatlah mendasar mengingat kekaburan identitas remaja sendiri. Kenyataan supaya mau diakui dan diterima oleh orang tua dan yang lebih tua kerap melahirkan gejolak untuk “keluar rumah” alias lepas dari kungkungan orang tua atau orang yang kerap mengaturnya. Gerakan “keluar rumah” pada kenyataan lain mempertemukan si remaja dengan remaja lainnya yang juga sedang mengadakan gerakan yang sama.
Remaja kerap menggabungkan diri dalam kelompok teman-teman sebaya. Rasa tidak diterima dan diakui serta kecanggungannya di rumah tidak lagi menjadi persoalan dalam kelompok baru ini. Di dalamnya melebur kelemahan dan kekurangan serta kesanggupan dan kemampuan yang sama.
Mereka tidak lagi mengalami perasaan diri kurang ( minderwaardigheids complex). Di sana tidak ada lagi penolakan karena remaja yang lainnya juga mengalami hal yang sama. Jerawat yang tumbuh berlebihan misalnya tidak lagi menjadi persoalan karena teman-teman sekelompok juga mengalami hal yang sama. [3]
Pada masa remaja kerap terjadi sulitnya komunikasi dengan kawan remaja jenis lain (lawan jenis). Namun demikian perasaan kuatir dalam berkomunikasi akan berkurang melalui kontak sosial di dalam kelompok. Di dalamnya tidak akan ada omelan dan ejekan.
Singkatnya di dalam kelompok ada rasa aman dan terlindungi dari ancaman dan gangguan dari luar. Rasa ini melahirkan perasaan yang kuat dan bahkan teramat kuat antar anggota kelompok. Keyakinan ini pada akhirnya kerap melahirkan kebenaran yang berlebihan atas apa yang menjadi gagasan kelompok. [4] Ditambah lagi dengan keinginan untuk diterima dan diakui sebagai anggota dalam kelompok (in group), membuat remaja nekat berbuat apa saja agar dapat diterima dan diakui di dalamnya. [5]
Remaja dan Realitas Persahabatan
Berdasar pada uraian sebelumnya, kita dapat menyebut bahwa persahabatan antar remaja terwujud dalam realitas kelompok. Di dalamnya ada perasaan diterima dan menerima, diakui dan mengakui, serta dilindungi dan melindungi. [6]
Pada kenyataan yang demikian, remaja menemukan dirinya dihargai, baik dalam sikap maupun dalam pikiran. Ini ditemukan dalam kebersamaan dengan teman-temannya dan tidak ditemukan di tempat lain. Maka realitas persahabatan cenderung terjadi dalam kelompok. [7]
Dalam kelompok inilah apa yang tidak bisa dilakukan sendiri menjadi mudah karena dilakukan bersama. Kenyataan ini mengharuskan sebuah pemikiran, bila apa yang dilakukan itu bersifat positif dan membangun kiranya perlu didukung dan dipertahankan, sebaliknya jika bersifat negatif dan merusak kiranya perlu campur tangan orang yang dapat meredahkan suasana. Orang yang dimaksud bisa berasal dari anggota kelompok sendiri atau bahkan dari luar kelompok. [8]
Karena kekuatan persahabatan remaja berada dalam kelompok, kiranya di dalam kelompok ada figur-figur yang dominan untuk didengarkan. Jika tidak ada figur kuat dalam kelompok, menjadi sulitlah persahabatan dalam kelompok tersebut karena kemungkinan besar tidak ada figur yang mampu mengontrol ide-ide dan tindakan-tindakan yang liar dan ngawur.
Uraian di atas membolehkan beberapa kesimpulan penting perihal remaja dan realitas persahabatan dalam kelompok: [9]
o Kelompok remaja sulit ditiadakan karena para remaja membutuhkan rasa aman dan perlindungan dari kelompoknya
o Kelompok remaja memiliki sifat-sifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas untuk melatih caranya bersikap, bertingkah laku, dan mengekspresikan diri dalam realitas sosial
o Kelompok remaja memiliki segi negatif jika ikatan antara mereka menjadi kuat sehingga kelakuan mereka menjadi “over acting” dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak
Kita juga pada akhirnya dihantar pada dua kesimpulan dasar bertalian dengan realitas persahabatan remaja dalam kelompoknya, yakni dampak positif dan dampak negatif seperti:
- Dampak positif
Terdapat hubungan horisontal (teman sebaya) yang memungkinkan mereka boleh bersuara dan didengar oleh teman-temannya. Mereka memiliki persatuan yang kuat, dimana ada ikatan untuk saling melindungi dan menyelamatkan. Kenyataan ini membentuk remaja yang menghargai keberadaan orang lain, menaruh perhatian pada kebutuhan orang lain, mempunyai pengalaman dalam menciptakan relasi sosial yang baik, serta terlatih untuk bekerja sama dengan orang lain. Singkatnya, remaja telah mempunyai dasar untuk menjalin relasi dengan orang lain. [10]
- Dampak negatif
Dampak negatif tidak hanya bertalian dengan diri remaja tetapi juga menyangkut masyarakat luas [11] (komunitas sekolah, lingkungan, RT, bahkan dalam skala besar: desa, kecamatan). Kita bisa menyebut beberapa tindakan yang dimaksud antara lain: ngebut-ngebutan, terjerumus dalam NARKOBA dan seks bebas, pencurian, tawuran, ribut-ributan, dll. Hal ini terjadi karena di dalam kelompok tidak ada figur remaja yang mampu mengontrol teman-temannya yang mempunyai kecenderungan yang buruk atau jahat. Walaupun di dalam diri mereka terdapat banyak potensi positif, tetapi karena tidak ada orang yang membimbing dan mengorganisir mereka kepada aktivitas-aktivitas positif, terjadilah aneka tindakan kejahatan yang menyebalkan. Di sini kita menemukan bahwa di dalam aktivitas kelompok remaja, mereka tidak terlatih untuk bekerja keras, tidak mempunyai persiapan yang matang untuk masa depan, dan bahkan tidak ada kepedulian untuk mengarahkan dan membimbing mereka kepada masa depan yang lebih baik.
Persahabatan: Tinjauan Biblis-Teologis [12]
Persahabatan dalam Kitab Amsal adalah satu tema kecil dari beragam tema lainnya. Tema tentang persahabatan dapat kita temukan dalam Ams 16:28, “Orang yang curang menimbulkan pertengkaran, seorang pemfitnah menceraikan sahabat yang karib”.
Tema ini ditemukan juga dalam 17:9, “Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkitkan perkara, menceraikan sahabat yang karib”. Dan akhirnya tema yang sama ditemukan dalam 17:17 [13] , “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran”.
Ams 16:28 berbicara tentang perbuatan jahat. Perbuatan jahat yang dimaksud ialah berbohong/berdusta. Perbuatan ini pada hakekatnya dapat merusak persahabatan. Yang dimaksudkan di sini bukanlah mengasingkan, tetapi menciptakan perselisihan, dan memberi kesan memisahkan seorang sahabat. [14] Sejajar dengannya mau mengatakan tindakan yang disengaja untuk merusak persahabatan lewat tindakan menciptakan perselisihan dan meracuni kebenaran. [15]
Ams 17:9 berbicara tentang seorang sahabat yang menanggung penderitaan dalam diam lewat sikap menjauhkan pembalasan dendam. Dia melupakan kesalahan yang dibuat oleh seorang sahabat demi cinta kepada sahabatnya itu. Di sini mau menunjukkan bahwa cinta persahabatan harus ditopang oleh kemurahan hati. Tindakan memisahkan sahabat berarti menjadikan seorang sahabat bukan bagian dari dirinya. Tindakan ini merusak cinta dan kebenaran. [16]
Sejajar dengan uraian di atas mau dikatakan bahwa kesabaran dapat melanggengkan persahabatan. Kesabaran itu ditampakkan lewat sikap menutupi kekeliruan seorang sahabat. Tindakan gegabah seorang sahabat (kekeliruan yang menimbulkan pertengkaran) ditutupi oleh kemurahan hati. Kemurahan hati melampaui kemarahan. [17]
Ams 17:17 hendak menekankan nilai persahabatan. [18] Persahabatan menjadi simbol ketabahan dan kesetiaan. [19] Bertalian dengannya sangat dituntut nilai sebuah kesetiaan. Kesetiaan itu ditunjukkan dalam situasi bahaya. Dalam menghadapi situasi tersebut dibutuhkanlah keteguhan masing-masing pihak. Nilai sebuah persabahatan ditunjukkan dalam kesetiaan dan ketabahan untuk menghadapi realitas penderitaan dan kemalangan. [20]
Persahabatan adalah pilihan bebas seorang individu kepada individu yang lain. Pilihan tersebut berdasarkan kualitas tertentu. Keduanya dituntut untuk melepaskan hidupnya masing-masing demi persabahatan tersebut. Di sini persahabatan dikatakan melampaui hubungan darah. Keduanya dipersatukan atas solidaritas yang sama, dan ini berarti keduanya harus saling mendukung dan membantu satu sama lain terutama pada situasi-situasi sulit. [21]
Saudara adalah ikatan karena hubungan darah. Ikatan ini bersifat natural. Dengan perkataan lain, saudara adalah representasi relasi fraternal. Relasi fraternal ini melampaui ikatan persahabatan. Pada situasi sulit, seorang sahabat bisa saja pergi, dan pada situasi yang demikianlah seorang saudara menunjukkan perannya yang melampaui seorang sahabat. [22]
Persahabatan merupakan bentuk murni dari cinta yang didasari oleh kebaikan hati dan afeksi yang mendalam. Persahabatan dapat terjadi karena pesona fisik, kedekatan perasaan, kualitas pribadi tertentu (kejujuran, kebenaran, kesetiaan, kebebasan, dan kemurahan hati). Pada prinsipnya persahabatan sejati didorong oleh cinta yang diwujudkan dalam relasi timbal balik yang dinamis.
Perwujudan persahabatan sejati nyata dalam pribadi Yesus dari Nazareth. Yesus adalah konkretisasi persahabatan Allah dengan manusia. Dia dan para murid-Nya menjadi simbol persahabatan Allah. Dia menyadarkan bahwa sedemikian Allah mencintai dunia sehingga Allah mengaruniakan Putra-Nya yang tunggal bagi keselamatan manusia (Yoh 3: 16-17).
Yesus sendiri menyebut para murid-Nya sahabat. Sebagai Sahabat, Yesus memberikan cinta yang sempurna bagi mereka. Dia mengajar, menegur, dan menguatkan para murid ketika mereka lemah. Puncak perealisasian cinta sempurna ini diwujudkan lewat peristiwa Kalvari. Di sana cinta sejati tercurah dalam darah yang menyelamatkan. Kalvari menjadi saksi bisu perwujudan persahabatan sejati antara Allah yang menyelamatkan dan manusia yang memperoleh anugerah keselamatan dengan cuma-cuma.
Remaja dan Persahabatan
Kita telah mendalami gagasan dasar perihal remaja dalam realitas psikologis (sosiologis) dan biblis-teologis. Dari padanya dapatlah ditarik benang merah sebagai penyimpulnya. Bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk keluar dari dirinya agar bisa bersama orang lain.
Realitas sosial dari dimensi human ini terjadi juga pada diri remaja. Perwujudannya terjadi dalam realitas persahabatan dalam kelompok. Di sana remaja mampu mengaktualisasikan diri secara bebas. Dan diharapkan bahwa pengaktualisasian diri ini terjadi secara positif guna mengarahkan remaja pada masa depan yang cerah dan membahagiakan.
Di sisi lain, kita juga memperoleh informasi penting bahwa realitas persahabatan itu melampaui ikatan darah (relasi fraternal). Sebuah persahabatan entah dalam bentuk apapun terjadi karena pilihan bebas dan kualitas pribadi (self quality) dari masing-masing orang. Dan relasi persahabatan sejati ditemukan dalam pribadi Yesus yang mencintai, mengampuni, menegur, mengajar, menguatkan, serta merelakan diri bagi sahabat-sahabat-Nya.
Dengan demikian menjadi pentinglah bagi remaja untuk belajar dari Tokoh Ideal yakni Yesus sendiri. Relasi persahabatan seharusnya memampukan para remaja untuk menerima dan mencintai, mengampuni dan merelakan diri, serta menegur, mengajar dan menguatkan sahabat. Ini mau mengajarkan hal yang paling mendasar dalam realitas persahabatan, bahwa persahabatan yang benar terjadi dalam kesanggupan masing-masing pribadi untuk menerima dan mencintai, mengampuni dan merelakan diri, serta menegur, mengajar dan menguatkan sahabat.
Dalam relasi persahabatan sangat ditekankan kualitas persamaan, penghargaan, kasih sayang, dan saling menghargai. Inilah empat kualitas persahabatan yang benar. Persahabatan bukan soal seia sekata satu sama lain. Ketidaksetujuan dengan teman bukanlah soal kalah atau menang. Yang terpenting di dalam sebuah persahabatan adalah kesanggupan mendengarkan perkataan mereka sebagai orang yang setara, serta menghargai dan menghormatinya dengan penuh kasih sayang tanpa harus menolak dan menyalahkan satu sama lain. [23]
Catatan Akhir
Dewasa ini dunia sedang terkotak-kotak dalam aneka bentuk karena kekuasaan, ras, suku, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Manusia hidup dalam keterpecahan karena diskriminasi yang mengobyekkan sesama. Di tengah realitas yang demikian, ikatan persahabatan menjadi satu kekuatan fenomenal yang mampu mentransformasi keberadaan manusia yang sedang terpecah. Namun demikian, realitas persahabatan juga dapat menghantar seseorang kepada jurang malapetaka. Kenyataan ini mengharuskan remaja untuk memaknai persahabatan secara benar. Pada akhirnya selamat menjalin persahabatan dan menjadi sahabat yang baik dan benar bagi yang lain.
Boawae, Asrama Bukit, 12 Juni 2012
[1] Istilah ini pertama sekali dimunculkan oleh Erik H. Erikson. Lihat Erik H. Erikson, Identitas dan Siklus Hidup Manusia (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm. 3. Diterjemahkan oleh Agus Cremers.
[2] Bandingkan gagasan Fransiskus Emanuel da Santos, Menjadi Sahabat Orang Muda (Larantuka: Yanense, 2008), hlm. 93.
[3] Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi Remaja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hlm. 94
[4] Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 95.
[5] Bandingkan gagasan in groups dan out groups dalam konteks sosiologis
[6] Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 95.
[7] Fransiskus Emanuel da Santos, Menjadi Sahabat …, hlm. 93.
[8] Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 95.
[9] Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 95-96.
[10] Fransiskus Emanuel da Santos, Menjadi Sahabat …, hlm. 100-101.
[11] Fransiskus Emanuel da Santos, Menjadi Sahabat …, hlm. 101-102.
[12] Keseluruhan bagian ini disarikan dari Andreas Neke, “Memaknai sebuah Persahabatan (Refleksi atas Makna Persahabatan dalam Kitab Amsal dan Pepatah Masyarakat Ngada)” dalam Flores Pos.
[13] John Barton dan John Muddiman, The Oxford Bible Commentary (Oxford: University Press, 2000), hlm. 406; bdk. Thomas P. McCreesh, OP, “Proverbs”, dalam Raymond E. Brown, Joseph A. Fitzmyer dan Roland E. Murphy, The New Jerome Biblical Commentary (London: Geoffrey Chapman, 1990), hlm. 454.
[14] Crawford H. Toy, A Critical and Exegetical Commentary on the Book of Proverbs (Edinburg: T & T, 59 George Street, 1988), hlm. 331-332.
[15] W. McKane, Proverbs …, hlm. 494.
[16] W. McKane, Proverbs …, hlm. 508-509.
[17] Crawford H. Toy, A Critical…, hlm. 341-342.
[18] Bertalian dengan perikop ini, para ahli KS tidak mempunyai kata sepakat perihal sahabat atau saudara yang dimaksud di dalamnya. Ada yang membedakan antara sahabat dan saudara, tetapi ada pula yang menyamakan saja keduanya. Yang termasuk dalam kelompok pertama mengatakan bahwa harus dibedakan antara sahabat dan saudara, keduanya mempunyai tekanan yang berbeda [Lihat Thomas P. McCreesh, OP, “Proverbs”, dalam Raymond E. Brown, Joseph A. Fitzmyer dan Roland E. Murphy, The New Jerome …, hlm. 459.], sedangkan kelompok kedua menyamakan saja sahabat dan saudara, keduanya adalah sinonim [Lihat John Barton dan John Muddiman, The Oxford …, hlm. 406; bdk; W. McKane, Proverbs (London: SCM Press Ltd, 1970), hlm. 505-506.]
[19] Crawford H. Toy, A Critical…, hlm. 346-347.
[20] W. McKane, Proverbs …, hlm. 505-506; bdk. Crawford H. Toy, A Critical…, hlm. 346-347; bdk juga John Barton dan John Muddiman, The Oxford …, hlm. 406.
[21] W. McKane, Proverbs …, hlm. 505-506
[22] John Barton dan John Muddiman, The Oxford …, hlm. 406; bdk W. McKane, Proverbs …, hlm. 505-506.
[23] Anne Krabill Hersberger, Sexuality: Gods Gift (Canada: Herald Press, 1999), hlm. 123-125.