-->

Bahan Bina Rohani Remaja Katolik (4)

REMAJA DAN SOSIALISASI DIRI

Catatan Awal

Lepas dari statusnya sebagai makhluk individual, manusia juga adalah makhluk sosial (homo socius). Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa ada dan bersama orang lain. Ada dan bersama orang lain ini menunjuk hakekat asali manusia, bahwasannya manusia tak dapat hidup tanpa orang lain (no man is an island).

Manusia senantiasa membutuhkan orang lain agar mampu mewujudkan dirinya yang sejati. Orang lain di sini adalah “aku yang lain”. “Aku yang lain” adalah sesama bagiku. Maka, “aku” dan “aku yang lain” adalah dua subyek yang saling mewujudkan kesejatian diri dalam kesatuan yang tak terpisahkan.

Namun harus disadari bahwa tidak dengan serta merta manusia bisa hidup bersama orang lain. Agar dapat hidup bersama orang lain, manusia perlu yang namanya sosialisasi diri. Dengan sosialisasi diri ini, manusia membuat dirinya dikenal dan serentak dengannya mengenal orang lain. Ini berarti bahwa relitas manusia sebagai makhluk sosial melekat dengan proses sosialisasi.

Fokus refleksi kita kali ini mengerucut pada dua realitas ini (manusia sebagai makhluk sosial dan sosialisasi diri). Dua hal ini dirasa penting mengingat kecenderungan remaja (putra/i) yang mewujudkan eksistensinya pada waktu, tempat, dan orang yang keliru. Maka tidak bisa tidak, agar mampu menjadi pribadi yang sejati, remaja harus mampu mewujudkan eksistensi sosialitasnya pada waktu dan tempat yang benar serta dengan orang dan cara/sarana yang benar pula.

Sosialisasi Diri

Manusia yang normal biasanya mau dikenal dan mengenal orang lain. Ungkapan, “seperti katak dalam tempurung” biasanya sulit diterima bila dilabelkan kepada orang tertentu. Ini sangat beralasan karena dorongan naluriah mengaharuskan seseorang memperkenalkan diri agar dikenal dan mengenal orang lain. Oleh karena itu, dengan sendirinya label “kuper” biasanya tidak dapat diterima oleh siapapun.

Secara sederhana realitas mau mengenal dan dikenal inilah kita sebut sebagai sosialisasi. Atau dengan perkataan lain, sosialisasi [1] adalah usaha yang dibuat supaya dikenal dan mengenal orang orang lain. Maka dengan sendirinya, sosialiasasi diri berarti usaha individu untuk membuat dirinya dikenal dan (dirinya) mengenal orang lain.

Realitas “mengenal dan dikenal” didasari oleh gagasan filosofis bahwa manusia adalah makhluk eksentris. [2] Sebagai makhluk eksentris, manusia mengalami diri sebagai eksistensi yang terarah keluar kepada yang lain. “Diriku” terarah keluar dan aku bergantung pada yang lain. Inilah dimensi sosialitas manusia.

Realitas sosialitas merupakan sebuah eksistensi. Tak ada relasi tanpa kehadiran sesama, karena sesama hadir sejak awal dan dalam seluruh dimensi hidupku. “Aku” menjadi aku karena “kamu”, dan “aku” dipanggil untuk menjadi aku untuk “kamu”. Ini berarti bahwa kesosialan merupakan sesuatu yang khas manusia karena berhubungan langsung dengan kodrat asalinya sebagai manusia.

Relasi antar manusia terwujud dalam perjumpaan dengan orang lain. [3] Dalam perjumpaan tersebut, “aku” dipanggil untuk mengakui sesamaku sebagai “engkau” yang saling mengada. [4] “Aku” menjadi aku adanya karena “engkau”; dan “engkau” menjadi engkau adanya karena “aku”.

Semuanya mewujud dalam realitas keunikan manusia. Keunikanku meresapi keunikanmu, dan keunikanmu meresapi keunikanku sehingga membaurlah keunikanku dan keunikanmu. Keunikanku tumbuh bersama keunikanmu sehingga menjadi “keunikan kita”.

Dalam realitas ini ada proses memberi dan menerima dengan sukarela dan antusias. Di dalamnya “aku” dan “engkau” duduk sejajar dalam kekitaan. Dan, ini bisa mewujud secara sempurna bila diikat oleh cinta dan simpati [5] yang didasari oleh rasa saling menghormati, saling mempercayai, dan bersikap bisa dipercaya.

Dengan demikian, realitas sosialitas dalam proses sosialiasi harus terjadi dalam perjumpaan dengan orang lain. Di dalamnya terjadi pembauran keunikan karena adanya kesediaan untuk saling memberi dan menerima atas dasar cinta dan simpati.

Remaja dan Sosialisasi Diri

Tak dapat dipungkiri bahwa kecenderungan sosialisasi diri melekat juga dalam diri remaja. Gordon menguraikan bahwa manusia pada dasarnya senang berkumpul dengan yang sepadan dan membuat jarak dengan yang berbeda. [6] Pada diri remaja, hal ini biasanya berbarengan langsung dengan pemberontakan kepada orang tua/yang lebih tua karena dalam kelompok yang sepadan mereka mengalami hal yang kurang lebih sama. [7]

Di dalam kelompok ada rasa aman dan terlindungi dari ancaman dan gangguan dari luar. Rasa ini melahirkan perasaan yang kuat dan bahkan teramat kuat antar anggota kelompok. Keyakinan yang ada pada akhirnya kerap melahirkan kebenaran yang berlebihan atas apa yang menjadi gagasan kelompok. [8] Ditambah lagi dengan keinginan untuk diterima dan diakui sebagai anggota dalam kelompok (in groups), membuat remaja nekat berbuat apa saja agar dapat diterima dan diakui di dalamnya. [9]

Tak jarang bahwa sebaik apapun komunikasi pada masa kanak-kanak, remaja akan menutup diri, membatasi dan mendistorsi komunikasi dengan orang tuanya. Sebaik apapun relasinya dengan orang tua, remaja tetap memprioritaskan kawan sebaya. Dan, sedekat apapun orang tua dengan remaja, mereka masih lebih dekat dengan teknologi seperti komputer, HP, game, dll. [10]

Ini berbarengan langsung dengan kecemasan terbesar yakni ditolak dan dipermalukan oleh teman-teman sebaya, yang terkadang melebihi ketakutan mereka terhadap kematian. Ditambah lagi kata-kata teman sebaya sering dalam bentuk dukungan (dalam hal negatif) dan teror membuat remaja lebih memprioritas teman (kelompok) dari pada orang tua/yang lebih tua. [11]

Demikian dapat disimpulkan bahwa sosialisasi diri remaja terjadi dalam kelompok karena di sana ada rasa aman dan terlindungi. Ini berhubungan langsung dengan keinginan yang sangat kuat untuk diterima dan diakui sebagai bagian dari kelompok (a part of group), sehingga menimbulkan gap dengan orang tua/yang lebih tua dan lebih memprioritaskan kelompok serta semua kecenderungan yang ada dalam kelompok yang bersangkutan.

Ini berarti bahwa jika kelompok dan segala kecenderungannya positif, maka individu akan bertumbuh menjadi pribadi yang baik, sebaliknya jika kelompok dan segala kecenderungannya negatif, maka individu akan bertumbuh menjadi pribadi yang buruk. Maka kecenderungan negatif inilah yang perlu disadari dan dibenahi agar pada akhirnya seorang remaja dapat bertumbuh menjadi pribadi yang baik.

Bersosialisasi secara Bijak

Tak pernah keliru apalagi salah jika orang membuat dirinya dikenal dan mengenal orang lain. Yang terpenting adalah bijak dalam proses mengenal dan dikenal. Maka empat petunjuk berikut menjadi sangat penting: [12]

o Waktu : Bijak membaca situasi dan kondisi

o Tempat : “Right man in the right place”/“right man in the wrong place”

o Orang : “Bergaul dengan orang baik akan menjadi orang baik, bergaul dengan orang jahat akan menjadi orang jahat”

o Sarana : “Maksud baik harus ditempuh dengan cara/sarana yang baik. Bila maksudnya baik tetapi cara/sarananya salah, maka dengan sendirinya maksud baik tersebut akan kehilangan nilai baiknya”

Sosialisasi Diri: Kajian Biblis-Teologis

Bila membaca Injil Sinoptik (Matius, Markus dan Lukas), dengan sangat terang kita menemukan bagaimana Yesus membuat diri-Nya dikenal. Periode kehadiran Yesus di muka umum bersamaan dengan kehadiran Yohanes Pembaptis.

Walaupun ada kesempatan untuk memaklumkan kehadiran-Nya dengan cara yang lain, tetapi Yesus memilih cara yang dikehendaki oleh Bapa-Nya. [13]

Bermula dari periode di atas, kita bisa merujuk kebijaksanaan Yesus dalam mensosialisasikan diri dan warta Kerajaan Allah yang Ia bawa:

o Waktu : Yesus hadir pada situasi di mana orang membutuhkan pengajaran, peneguhan dan penguatan dari-Nya. Semua waktu menjadi saat yang tepat untuk memaklumkan Kerajaan Allah (pagi-pagi buta, pagi hari, siang, sore, hari menjelang malam, hari biasa pun hari Sabat)

o Tempat : Yesus merealisasikan misi Kerajaan Allah tanpa memandang tempat. Bagi Yesus, “kolong langit” menjadi tempat untuk mewartakan Kerajaan Allah (rumah, bukit, padang gurun, danau, Bait Allah/Sinagoga, Kapernaum, Galilea, Yerusalem)

o Orang : Semua orang perlu mengetahui secara benar maklumat Kerajaan Allah (orang miskin/kaya, bodoh/terpelajar, anak-anak,orang dewasa)

o Sarana : Yesus menggunakan sarana alamiah/natural untuk mengungkapkan kebenaran Kerajaan Allah (ikan, roti, gandum, pohon ara), dalam pengajaran dan mukjizat yang Ia buat.

Bila kembali merujuk pada aktivitas Yesus di atas, kita seolah-olah mendapatkan pembenaran bahwa sosialisasi diri bisa dilakukan dalam semua waktu dan tempat, kepada semua orang dan dalam segala cara. Sejatinya, bila menelaah lebih dalam, akan ditemukan satu kata penting bahwasannya Yesus justru sangat bijak, karena memanfaatkan semua hal yang mungkin untuk mengungkapkan diri dan warta Kerajaan Allah. Yesus menyatakan diri dan warta Kerajaan Allah ketika diri-Nya merasa perlu dan memang seharusnya warta Kerajaan Allah itu diwartakan kepada orang banyak dalam waktu, tempat, dan sarana tertentu.

Hal lainnya bahwa Yesus mempunyai visi dan misi yang jelas sejak awal perutusan-Nya ke dunia ini. Dalam kejelasan ini Dia tidak pernah menyimpang sedikitpun dari misi perutusan-Nya. Yang sangat mendasar dalam pewartaan Yesus bahwa:

o Semua waktu [14] adalah saat yang tepat untuk mewahyukan Kerajaan Allah. Untuk Yesus dan warta Kerajaan Allah tidak ada yang namanya waktu khusus/spesial, karena semua waktu adalah spesial untuk mengungkapkan kebenaran Kerajaan Allah.

o Semua tempat dapat menjaadi locus pewartaan, tidak ada yang namanya tempat sakral/kudus dan najis bagi Allah, karena semua tempat adalah kudus. [15] Tempat menjadi najis jika orang menajiskannya dengan sikap dan kata-katanya sendiri. Semua tempat adalah kudus untuk mengungkapkan kebenaran Kerajaan Allah.

o Semua orang (tanpa membedakan kaya/miskin, terpelajar/tidak, asli/pendatang) perlu mengetahui kebenaran Kerajaan Allah. Semua orang sama di hadapan Allah karena Allah tidak membeda-bedakan manusia.

o Semua sarana bisa digunakan untuk mengungkapkan kebenaran Kerajaan Allah. “Sarana menjadi salah jika maksud dan cara penggunaannya salah”.

Demikianlah kita memperoleh pemahaman bahwa yang terpenting adalah kebijakan dalam merealisasikan diri. Tidak semua waktu, tempat, orang dan sarana bisa dengan serta merta digunakan bila maksud dan caranya keliru. Bila maksud dan caranya keliru/salah, dengan sendirinya waktu, maksud, tempatnya menjadi salah. Jadi bijaklah mencari waktu, menemukan waktu/tempat, kepada orang yang tepat, serta sarana/cara yang tepat pula agar menjadi baiklah maksud baik Anda.

Catatan Akhir

Ensiklik Caritas in Veritate mengungkapkan bahwa martabat atau harga diri seseorang bergantung dari apa yang diperbuat untuk orang lain, bukan karena apa yang dimilikinya. Anda boleh saja menggunakan semua waktu, tempat, dan sarana untuk mengungkapkan realitas diri Anda. Tetapi sadarlah bahwa orang lain yang akan mengalami efeknya. Pikirkanlah efek dari setiap tindakan Anda. So, wujudkanlah eksistensi diri Anda dalam konteks bahwa Anda adalah orang yang terpelajar dan terdidik. Lebih lagi, wujudkanlah eksistensi diri Anda dalam konteks bahwa Anda adalah seorang yang beriman dan bermoral.



[1] Terminologi yang dipakai lebih bernuansa populer dan bukan dalam konteks sosiologis.

[2] (Latin: eks: keluar, centrum: pusat): keluar dari (pusat) diri.

[3] R. C Kwant dalam bukunya Encounter merumuskan, “Deeper reflection showed that in the reality we become familiar with things through inter-human relations. It is only trough the encounter with others that we really get know things. Bandingkan gagasan Luijpen dalam bukunya Existential, “… to offer him the possibility to exist, to consent his freedom, to accept, support and share it…the motive of my love is you. I love you because you are you, because you are who you are … in and through love i make the other be… and the other make me be”.

[5] Simpati (Yunani: σιμ-sin: dengan/bersama, ματοσ- phatos: rasa; simpati: bersama-sama merasakan).

[6] Scott Gordon, History and Philosophy of Social Science, (1991).

[7] Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi Remaja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), hlm. 94.

[8] Ny. J. Singgih D. Gunarsa dan Singgih D. Gunarasa, Psikologi…, hlm. 95.

[9] Bandingkan gagasan in groups dan out groups dalam konteks sosiologis.

[10] Mundhi Sabda H. Lesminingtyas, Ada Apa dengan Remaja (Power Point).

[11] Mundhi Sabda H. Lesminingtyas, Ada Apa dengan Remaja (Power Point).

[12] Bisa disertai dengan beragam contoh yang kerap dibuat oleh para remaja di sekolah.

[13] Perikop yang dimaksud yakni Mat 3:14-17; Mark 4:13-17; Luk 3:21-23.

[14] Bedakan terminologi “waktu” dalam pengertian kronos dan kairos. Yunani, kronos-κσονοϛ (waktu mekanis: pagi, siang, sore, malam, dan kairos- καισοϛ (waktu berahmat dimana Allah menyatakan kebenaran kasih-Nya). Bagi Yesus, semua waktu adalah Kairos dimana Allah mengungkapkan karya penyelamatan-Nya bagi segenap ciptaan.

[15] Yang membuat sesuatu menjadi najis/kudus adalah hati, pikiran, dan tindakannya atas hal tertentu, entah itu waktu, tempat, sarana/cara, ataupun orang.

LihatTutupKomentar