PENGHAYATAN HIDUP PERKAWINAN UMAT PAROKI ST. FRANSISKUS XAVERIUS NDONDO
DAN
IDEAL PERKAWINAN GEREJA KATOLIK
Pengantar
Pada paper
sebelumnya, saya telah menguraikan beragam masalah teologis yang ada di Paroki
St. Fransiskus Xaverius Ndondo. Dari beragam masalah teologis yang ada, pada
paper kali ini, saya akan mengangkat satu masalah yang sangat menonjol yakni
masalah perkawinan. Masalah
ini akan diuraikan dari aspek kultural, teologis, dan pastoral.
1. Aspek Kultural
Lembaga
perkawinan adalah lembaga yang sama tuanya dengan sejarah peradaban manusia.
Bertalian dengan perkawinan ini, setiap budaya telah mengaturnya dalam hukum
adat sebagai hukum yang tidak tertulis. Pengaturan dalam hukum adat ini
bermaksud mempertahankan sekaligus
melindungi suku bangsa tertentu dari kepunahan.[1]
Pada prinsipnya, perkawinan dalam setiap budaya mengikat relasi pria dan
wanita, sekaligus pula mengikat relasi kekerabatan antara keluarga pria dan keluarga
wanita.[2]
Perkawinan
dan konsekuensinya, seperti yang telah diuraikan di atas, berlaku pula dalam
masyarakat Suku Lio.[3]
Perkawinan dalam masyarakat Suku Lio telah diwariskan dari generasi ke
generasi, tentu dengan maksud menata harmoni dalam hidup bermasyarakat di
samping untuk mempertahankan dan melindungi suku bangsanya. Namun disadari
bahwa dewasa ini nilai perkawinan ideal Suku Lio telah dinodai oleh beragam
pelanggaran yang pada hakekatnya berseberangan dengan nilai-nilai moral
Katolik. Ini terbukti dengan maraknya perselingkuhan,[4] dan tak jarang ditemukan bahwa seorang
wanita sudah hidup bersama dengan seorang pria di rumah laki-laki[5]
tanpa melalui ikatan perkawinan yang disahkan oleh Gereja. Mereka sudah hidup layaknya sepasang suami
istri, dan baru akan menikah setelah memiliki beberapa orang anak.
Bertalian
dengan hidup bersama sebelum nikah gereja, memang direstui adat. Bila kedua
insan saling mencintai atau karena pembicaraan antara keluarga pria dan
keluarga wanita, seorang wanita akan datang dan tinggal di rumah orang tua
laki-laki. Selanjutnya akan dimulai proses adat, yang akan membicarakan beragam
hal yang bertalian dengan hukum adat perkawinan.
Sedangkan bertalian dengan
perselingkuhan, kebanyakan masyarakat tidak merasakannya sebagai hal yang luar
biasa. Mereka sudah sangat biasa dengan realitas yang demikian, sehingga tak
jarang bila dalam satu keluarga ada tiga orang anak, maka ayah biologis dari
anak-anak tersebut bisa tiga orang pula. Pasangan suami istri sudah saling
mengetahui, dan mereka saling menerima satu sama lain tanpa ada perasaan risih
atas relitas tersebut.
Bila
ditelusuri lebih mendalam kedua realitas di atas, akan ditemukan
sekurang-kurangnya tiga penyebab utama. Pertama,
lemahnya penegakan hukum oleh para pemangku hukum adat.[6]
Para pemangku hukum adat tidak memberikan sanksi sebagai efek jera, sehingga
kasus-kasus di atas masih berlangsung sampai sekarang ini. Dan yang lebih
memprihatinkan lagi, para pemangku hukum adat tidak dapat bertindak lewat
pemberian sanksi yang memadai terutama karena mereka sendiri melakukan hal yang
sama.
Kedua, lemahnya
kontrol sosial. Masyarakat
tahu bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah salah. Banyak di antara mereka
mengeluh dan prihatin atas realitas yang sedang terjadi, namun mereka bisa
saling mengerti dan saling mengetahui satu sama lain, tanpa ada keberanian
untuk mendobrak kebiasaan yang salah ini.
Ketiga, beratnya
beban ekonomi. Masalah ini khususnya dialami oleh kaum ibu yang bersentuhan
langsung dengan kebutuhan rumah tangga. Atas desakan ekonomi, mereka rela berbuat apa saja demi pemenuhan kebutuhan
ekonomi. Dan atas realitas ini kerap
terdengar ungkapan yang keluar dari mulut beberapa orang bapak yang mengatakan,
”saya kan makan di restoran, setelah makan saya bayar.”
Akibat dari semua ini adalah
masa depan anak. Anak kerap menjadi korban. Yang paling jelas terlihat ialah diabaikannya
pendidikan anak. Pendidikan yang dimaksud berupa pendidikan nilai dari orang
tua, yang di dalamnya mencakup etiket dan sopan santun. Pengabaian ini
menyebabkan anak-anak terbiasa dengan sikap-sikap yang kurang terpuji seperti
penghormatan kepada orang yang lebih tua dan lain-lain. Menjadi hal yang biasa,
dari mulut seorang anak kerap keluar kata-kata kotor yang kurang terpuji.
Di samping diabaikannya
pendidikan nilai (etiket dan sopan santun), juga diabaikannya pendidikan formal
(sekolah). Banyak anak mengalami putus sekolah.[7]
Akibat dari semuanya ini ialah pada waktunya mereka akan bertumbuh dan mengulangi
lagi hal-hal yang pernah mereka lihat dan alami sendiri dalam keluarga dan
masyarakat.
2. 2 Aspek Teologis
Panggilan
untuk hidup dalam perkawinan ada dari kodrat manusia sendiri yang dicipta
sebagai pria dan wanita. Persatuan
pria dan wanita dalam ikatan perkawinan bukan semata-mata diikat oleh institusi
manusiawi, tetapi juga Ilahi. Dengan perkataan lain mau dikatakan bahwa ikatan kesatuan
antara pria dan wanita dalam perkawinan didirikan oleh Allah bersama manusia
agar dengannya menjadi tanda kehadiran Allah sendiri.[8]
Kitab
Suci mencatat bahwa manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Melalui
penciptaan ini manusia diharapkan dapat mengenal dan mencintai Allah sendiri. Dengan
penciptaan ini pula manusia dipanggil untuk saling mencintai satu sama lain. Panggilan
untuk saling mencintai secara eksplisit terwujud dalam perkawinan antara
seorang pria dan seorang wanita. Dan dengan demikian panggilan untuk saling
mencintai antara seorang pria dan seorang wanita dalam ikatan perkawinan adalah
panggilan kodrati manusia.[9]
2. 2. 1 Tujuan Perkawinan
Pada
dasarnya tujuan perkawinan adalah demi kesejahteraan suami istri (bonum coniugum), kelahiran anak, dan
pendidikan anak.[10] Agustinus menyebut tiga makna perkawinan yakni: makna prokreatif, makna
kesetiaan, dan makna sakaramen. Makna sakramen mau menekankan simbol hubungan
cinta sempurna antara Kristus dan Gereja. Kenyataan ini menegaskan hubungan
erat rahasia keselamatan antara Bapa, Kristus, dan Gereja.[11]
Konsili Vatikan II menyebut
tujuan perkawinan adalah untuk membentuk persekutuan (komunitas) cinta. Tekanan
pada tujuan ini ialah penyerahan diri seutuh-utuhnya antara seorang pria dan
seorang wanita.[12] Dan untuk memahami realitas ini, Ensiklik
Humanae Vitae mengatakan bahwa
kesatuan yang dimaksud bukan hanya kesatuan dua badan saja, melainkan kesatuan
dua pribadi. Kesatuan itu sendiri mencakup seluruh kemanusiaan yakni kesadaran,
kebebasan, kewajiban, hak dan martabat suami istri.[13]
2. 2. 2 Sifat Perkawinan
Kitab
Hukum Kanonik 1983 kanon 1056 menyebut perkawinan adalah sakramen. Ini mau
menjelaskan misteri kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya. Kesatuan ini
diterangkan oleh Yesus sendiri. Yesus dengan mengutip Kej 2: 24 “sebab itu
seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya sehingga keduanya menjadi
satu daging”, mau menegaskan penolakan-Nya atas ide yang mengatakan bahwa
seorang suami boleh menceraikan istrinya.[14]
Dengan tetap berpegang pada ajaran Yesus, Gereja
menegaskan bahwa perkawinan itu bersifat monogam. Perkawinan yang bersifat
monogam harus terbentuk antara dua orang saja yakni seorang pria dan seorang
wanita. Realitas ini mau menegaskan bahwa perkawinan terwujud atas kehendak
Tuhan dengan prinsip dasar, yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh
diceraikan oleh manusia (Mat 19: 5-6).[15]
Dengan perkataan lain, gagasan
di atas hendak menegaskan kembali analogi hubungan cinta antara Kristus dan
Gereja. Perkawinan itu sendiri adalah unik, sehingga menuntut kesetiaan.
Kesetiaan ini merupakan akibat dari penyerahan diri yang seutuh-utuhnya antara
seorang pria dan seorang wanita.[16]
Karena perkawinan itu menjadi
analogi hubungan antara Kristus dan Gereja, kesetiaan antara mereka tidak boleh
dinodai oleh orang ketiga. Kesetiaan ini harus didukung sepenuhnya oleh cinta
kasih suami istri (amor coniugalis).
Cinta kasih suami istri seharusnya cinta yang tunggal, suci dan murni layaknya
cinta Kristus kepada Gereja. Dan pada akhirnya kesetiaan dalam cinta kasih ini
memampukan suami istri mencapai kesempurnaan dalam cinta kepada Allah dan
sesama.[17]
2. 2. 3 Tanggung Jawab
Kepada Anak
Tanggung jawab pertama
dan terutama kepada anak adalah orang tua dari anak yang bersangkutan. Tanggung jawab ini diakibatkan oleh
hubungan biologis dan emosional antara orang tua dan anak.[18] Tanggung jawab ini juga meliputi segala
aspek yakni kebutuhan fisik (sandang-pangan), pendidikan psikis-afektif,
intelektual, sosial-kultural, religius dan moral.[19]
Tugas
dan kewajiban orang tua kepada anak merupakan hak essensial, original dan
primer. Tugas dan kewajiban ini tak tergantikan dan tak terwakilkan. Dan dasar
dari semuanya adalah cinta. Karena cinta anak-anak perlu dididik dalam
nilai-nilai dasar. Dalam pendidikan ini, suami istri merupakan guru dan ibu
dalam bidang iman. Mereka menjadi pewarta Injil bagi anak-anak, sambil terbuka
pula kepada segala masukan yang berasal dari pihak lain seperti Gereja dan
negara.[20]
2. 3 Aspek Pastoral
2. 3. 1 Realitas Budaya dan Refleksi Teologis
Terhadap
realitas kawin pintas, pada dasarnya
Gereja melihatnya sebagai pengaburan martabat perkawinan. Gereja menganjurkan
agar hidup bersama tanpa ikatan perlu dihindari. Dan selanjutnya Gereja
mengajak agar mereka yang terlanjur melakukannya perlu dibantu agar mau
membereskan hubungan mereka. Perkawinan model ini harus ditolak karena tidak
sesuai dengan kesetiaan cinta sejati, serta mengaburkan lambang yang benar dari
kesetiaan Kristus kepada Gereja.[21]
Gereja
juga menegaskan kembali realitas kesetiaan yang dinodai oleh perselingkuhan. Kesetiaan suami istri
seharusnya bersifat timbal balik, antara suami kepada istri dan sebaliknya
istri kepada suami. Gereja melihat bahaya pihak ketiga sebagai perusak martabat
perkawinan. Oleh karena itu Gereja mengajak agar para suami istri harus
membangun perkawinan mereka atas dasar kasih yang kuat dan jujur, dan hendaknya
dihindari perkawinan yang hanya didasari oleh simpati semata.[22]
Dan
bertalian dengan diabaikannya pendidikan
anak, saya secara pribadi tetap berpegang pada prinsip Gereja yang
menegaskan bahwa penanggung jawab utama pendidikan anak adalah orang tua.
Gereja menyebutnya sebagai tanggung jawab sekaligus tugas. Maka, orang tua
serentak berperan sebagai guru dan ibu. Mereka menjadi pewarta Injil yang
pertama dan utama bagi anak-anak yang dikaruniai Tuhan kepada mereka.[23]
Di
samping itu, hal lain yang tidak dapat diabaikan ialah peran masyarakat dalam membangun suatu komunitas Kristiani yang
beradab. Saya melihat hal ini menjadi sangat penting mengingat dalam masyarakat
banyak hal bisa dipelajari dan banyak hal pula yang bisa dilakukan. Ini
melahirkan konsekuensi serius. Bila yang dipelajari adalah hal-hal yang buruk,
tentulah hal-hal buruk yang akan dipraktekkan. Akan menjadi sia-sia pengajaran
di sekolah dan Gereja, bila toh kenyataan yang berseberanganlah yang dilihat
dan didengar. Dan otomatis, apa yang hidup dalam masyarakat, inilah yang dilaksanakan.
Oleh karena itu, Gereja mengajak segenap umat beriman untuk hidup sesuai dengan
statusnya sebagai orang Kristiani. Segenap umat beriman karena statusnya
sebagai murid-murid Kristus selayaknya menjadi garam dan terang dalam
masyarakat.[24]
2. 3. 2 Praksis Pastoral
Melihat
realitas umat dan konsep teologis di atas, penulis melihat perlunya praksis
pastoral yang sedapat mungkin mampu menjawab realitas kehidupan umat. Oleh
karena itu, katekese merupakan hal yang mutlak perlu untuk membangun kesadaran
umat perihal perkawinan supaya umat perlahan dapat mengerti dan mau pula untuk
berubah. Hal-hal penting yang perlu dikatekesekan mencakup: perkawinan
(pengertian, hakekat, dan tujuan), perkawinan dan kesehatan keluarga,
perkawinan dan pendidikan anak, perkawinan dan ekonomi keluarga. Hal-hal ini
harus secara langsung menyentuh pula kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat sehingga
melahirkan penyadaran untuk berubah. Bentuk katekese ini dapat diberikan selama
kursus persiapan perkawinan dan kursus lanjutan kepada orang tua yang
anak-anaknya akan dipermandikan, krisma, dan komuni pertama. Dan bentuk lainnya
ialah melalui kunjungan kepada keluarga-keluarga yang sedang mengalami krisis
dalam hidup perkawinan.
Di
samping katekese umat dengan beragam bentuknya, kiranya diperlukan juga teladan
hidup suci dari para biarawan-biarawati, para pemangku hukum adat, dan para
aparatur pemerintah. Mereka diharapkan tidak menjadi skandal dan batu sandungan
dalam realitas hidup bersama umat beriman. Dan satu hal yang tidak bisa diabaikan
adalah membantu umat agar dapat keluar dari lilitan kemiskinan. Ini dapat
dibuat lewat pendirian koperasi simpan pinjam, memberikan penyadaran akan cara
bertani dan beternak yang baik, dan membantu umat supaya biasa dengan pola
hidup sederhana, tanpa harus hidup miskin dan melarat.
Penutup
[1] Josef Konigsmann, Pedoman Hukum Perkawinan Gereja Katolik (Ende: Nusa Indah, 1987),
hlm. 18.
[2] Koentjaraningrat (ed), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1982), hlm. 102.
[3] Suku Lio berdomisili di sepanjang pantai
utara Pulau Flores. Suku Lio yang
dimaksud di sini hanya mereka yang berdomisili di Paroki St. Fransiskus
Xaverius Ndondo.
[4] Menurut kesaksian
banyak orang yang pernah berbicara dengan penulis selama menjalani TOP,
sebenarnya masyarakat Suku Lio mempunyai adat perkawinan tidak seperti yang
terjadi dewasa ini khususnya yang bertalian dengan perselingkuhan. Pada masa
lampau, orang yang melakukan hal yang demikian akan dihukum, tetapi sekarang
sepertinya tidak mendapat perhatian yang memadai dari para pemangku adat
sehingga maraklah praktek perselingkuhan.
[5] Rumah yang dimaksud ialah rumah orang tua
laki-laki. Umumnya pasangan
baru tidak memiliki rumah sendiri. Dalam satu rumah biasanya dihuni oleh dua
sampai tiga keluarga.
[6]
[7]
[8] Katekismus Gereja Katolik, diterjemahkan oleh P. Herman Embuiru
(Ende: Arnoldus, 1995), no. 1603.
[9] Yohanes Paulus II, Anjuran Apostolis Familiaris Concortio, diterjemahkan oleh
R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumen Penerangan KWI, 1994), no. 11, hlm. 23-24.
[10] Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta, Analisis Iuridis “Bonum Coniugum” dalam Perkawinan Kanonik (
[11] Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Perkawinan
dalam Tradisi Katolik (Yogyakarta: KAnisius, 1988), hlm. 33; bdk. Dominikus
Gusti Bagus Kusumawanta, Analisis …,
hlm. 24
[12] Konsili Vatikan II, “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (LG), dalam
Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumen Penerangan KWI, 1994),
no. 11, no. 84, hlm. 569-571.
[13] Maurice Eminyam, Teologi Keluarga (
[14] Kitab Hukum Kanonik 1983 (Codex Iuris Canonici 1983),
diterjemahkan oleh Sekretariat KWI (
[15] Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Perkawinan
…, hlm. 76.
[16] KGK, no. 1646.
[17] Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Perkawinan
…, hlm. 89-90.
[18] Piet Go, Pokok-pokok Moral
Perkawinan dalam Keluarga Katolik (Malang: Dioma, 1990), hlm. 25-27.
[19] Kitab Hukum Kanonik 1983,
Kan. 1136.
[20] Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Perkawinan
…, hlm. 129.
[21] Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Perkawinan
…, hlm. 113, 135.
[22] Benyamin Yosef Bria, Pastoral
PerkawinanI …, hlm. 100; bdk. Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Perkawinan …, hlm. 95.
[23] James A. Griffin, Ringkasan
Katekismus Katolik yang Baru (Judul asli: A Summary of the New Catholic Catechism) diterjemahkan oleh J. Hadiwikarta
(Jakarta: obor, 1996), hlm. 123; bdk. Dr. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Perkawinan …, hlm. 129.
[24] James A. Griffin, Ringkasan …,
hlm. 105.