TRINITAS
DALAM
TEOLOGI PEMBEBASAN
(MENEROPONG
GAGASAN LEONARDO BOFF)
1. Pengantar
Dewasa
ini pembahasan tentang Allah Trinitas mengalami kebangkitan kembali (revival) setelah sekian lama kurang
mendapat perhatian yang serius. Nico Den Bok mengelompokkan pembahasan Allah
Trinitas dalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama adalah trinitarianisme monopersonal, yang melihat Allah
Trinitas sebagai satu Pribadi. Kelompok kedua
adalah trinitarianisme sosial, yang melihat Allah Trinitas sebagai tiga
Pribadi. Dan kelompok ketiga adalah kelompok tengah, yang
tidak sama sekali unitarian atau trinitarian. Leonardo Boff,[1]
oleh Bok, dikelompokkan dalam kelompok trinitarianisme sosial.[2]
Tulisan ini akan memfokuskan pembahasan tentang Allah Trinitas pada pendapat
Boff dalam Teologi Pembebasan.
2.
Teologi Pembebasan[3]
2. 1
Latar Belakang Teologi Pembebasan
Akar-akar
sejarah Teologi Pembebasan ditemukan dalam tradisi kenabian dari pewarta Injil
dan misionaris[4] pada awal kolonialisme di
Amerika Latin. Mereka adalah warga Gereja yang setia mempertanyakan tipe
kehadiran Gereja dalam realitas Amerika Latin. Mereka telah menjadi sumber
pengertian sosial dan gerejawi yang tumbuh saat ini.[5]
2.1.1
Pembangunan Sosial Politik
Kesadaran
nasional dan pembangunan industri muncul sejak tahun 1950 dan pada tahun
1960-an. Kemajuannya dirasakan oleh kelompok kelas menengah dan masyarakat perkotaan,
tetapi mengorbankan kelompok petani dan masyarakat lingkungan kumuh.
Pembangunan lebih memajukan sistem ekonomi (kapitalisme) dan menyokong
negara-negara kaya. Kenyataan ini melahirkan pergerakan-pergerakan yang
kemudian membangkitkan kediktatoran militer untuk mengamankan kepentingan modal
melalui penekanan politik dan pengendalian polisi terhadap
demonstrasi-demonstrasi rakyat. Akibatnya adalah lahirnya kantong-kantong
angkatan bersenjata di banyak negara, untuk menggulingkan pemerintahan yang sedang
berkuasa dan membentuk rezim sosialis. Maka lahirlah suatu gerakan menuju
revolusi.
2.1.2
Pembangunan Gereja
Sejak
tahun 1960-an, angin pembaharuan mulai masuk dalam Gereja. Misi mulai
dijalankan dengan serius, awam mulai berkomitmen membantu kaum miskin, dan para
Uskup dan pastor mendorong panggilan bagi kemajuan dan modernisasi.
Organisasi-organisasi Gereja bermunculan guna membangun pengertian dan kemajuan
masyarakat.
Peran
di atas lebih didominasi oleh kelas menengah, yang didukung secara teologis
oleh teologi Eropa mengenai realitas dunia dan humanisme. Konsili Vatikan II
kemudian memberi pembenaran bagi kegiatan-kegiatan yang didasari oleh
tanda-tanda kemajuan teologi, sekularisasi, dan kemajuan manusia.
Gereja
menyesuaikan diri dengan pembangunan masyarakat dan mempelajari masalah-masalah
dalam masyarakat. Gereja berperan sebagai ragi dan meneriakkan semangat baru
dan jiwa kritis dalam lingkungan pastoral. Melaluinya dasar teologi pembangunan
dan teologi pembebasan diletakkan. Dilihat bahwa pergerakan rakyat dan kelompok
Kristiani berjuang untuk pembebasan sosial dan politik demi pembebasan yang
seutuhnya.
2.1.3
Perkembangan Teologis
Refleksi
Teologi Pembebasan[6] lahir dari dialog antara
Gereja dan masyarakat, antara perjuangan umat Kristiani dan kerinduan akan
transformasi dan kebangkitan pembebasan dari masyarakat. Konsili Vatikan II
menciptakan suasana teologi yang berciri bebas dan kreatif. Hal ini memberi
semangat bagi para teolog Amerika Latin untuk memikirkan masalah pastoral di
antara mereka sendiri.
Pertemuan-pertemuan
penting di antara para pemikir Katolik dan Protestan diadakan, yang membawa
refleksi hubungan antara iman dan realitas masyarakat. Pada akhirnya lahirlah
Teologi Pembebasan yang menekankan keterlibatan perorangan dalam dunia yang
didukung oleh ilmu sosial dan liberal. Maka lahirlah teolog-teolog Katolik
seperti Gustavo Guitérrez,[7]
Leonardo Boff, dan lain-lain.
2. 2
Perumusan
2.2.1
Tahap Dasar
Fondasi
dasar Teologi Pembebasan, selain dalam tulisan-tulisan Gustavo Guitérrez, juga
dalam tulisan Luis Segundu, Hugo Assman, Lucia Gera, Eduardo Pironio, Segundu
Galilea, Raimundo Caramuru, serta dari hasil kursus dan retret dalam kurun
waktu 1970-1973. Dari pihak Protestan ada Emilio Castro, Juli de Santa Ana,
Rubem Alves, dan José Miguez Bonino, serta tokoh-tokoh awam seperti Héctor
Borrat, Methol Ferré dan Luiz Alberto Goméz de Souza, yang telah memberikan
karya penting dalam menghubungkan teologi dengan ilmu-ilmu sosial. Tahap ini
ditandai dengan merepresentasikan Teologi Pembebasan sebagai bagian dari
teologi dasar atau teologi fundamental, yang membuka pandangan dan sikap baru
terhadap keseluruhan teologi.
2.2.2
Tahap Pembangunan
Tahap
kedua berupa usaha memberikan isi dari pendekatan doktrin pembebasan. Tiga hal
penting untuk kelangsungan Gereja adalah spiritualitas, kristologi, dan
ekklesiologi. Ini ditandai oleh publikasi yang meluas di negara-negara Amerika
Latin.
2.2.3
Tahap Pemantapan
Agar
memperoleh dasar yang kuat diperlukan dua proses yakni dasar epistemologis (memberikan
pengertian) dan tahap pengamatan, yang berlanjut pada tahap penilaian dan tahap
pelaksanaan. Dengannya Teologi Pembebasan memberikan sumbangan kepada
keseluruhan proses teologi. Proses pemantapan telah dicapai secara efektif
melalui perundingan antara para teolog dan para ilmuwan di bidang lainnya kepada
proses pembebasan. Banyak dari para teolog menjadi inspirator Gereja bagi
masyarakat kelas bawah. Mereka berpartisipasi dalam diskusi epistemologi dan
kembali ke basisnya yakni berada di antara masyarakat dan melibatkan diri dalam
materi katekese, politik serikat buruh, dan organisasi kemasyarakatan.
2.2.4
Tahap Formalisasi
Seiring
berjalannya waktu, visi asli teologi mengarah pada ekspresi formal. Ini
diupayakan lewat usaha pengujian kembali keseluruhan arti dari wahyu dan
tradisi untuk membangkitkan dimensi sosial dan pembebasan yang terkandung di
dalamnya. Pengujian ini dibuat untuk menegaskan aspek kebenaran yang bertalian
dengan konteks penindasan dan pembebasan.
Kegiatan
berlanjut lewat partisipasi langsung dengan kaum tertindas, atau bersentuhan
langsung dengan masalah pastoral yang terjadi, sehingga lahirlah banyak gerakan
yang berdasar pada Teologi Pembebasan. Upaya berikut ialah pelatihan pekerja
dari para teolog untuk membuat rencana menulis tentang teologi dan pembebasan
yang mencakup semua tema dasar teologi dan tugas pastoral dari sudut pandang
pembebasan.
2. 3
Dukungan dan Perlawanan[8]
Teologi
Pembebasan mendasarkan diri pada iman Kristiani dan kebutuhan pastoral. Ada dua
sikap terhadap teologi ini. Di satu sisi ada yang menerima, dan di sisi lain
ada pula yang menolaknya. Penerimaan dan dukungan nyata di antara para Uskup
dan teolog dalam Kongres di El Escorial-Spanyol (1972); Kongres Pertama para
Teolog di Mexico City (1975); kontak resmi para teolog dengan para pengacara
orang kulit hitam Amerika Serikat, gerakan feminis, kaum Indian, dan kelompok
lain; hasil Asosiasi Teolog-teolog Kristen negara-negara III (EATWOT: 1976,
1977, 1979, 1980, 1986); dan ulasan teologi internasional (Concilium Vol. 7 No. 10 Juni 1974 dengan tema Teologi Pembebasan).
Selain itu ada pula alat publikasi artikel dan diskusi antara para teolog
pembebasan, serta pusat-pusat studi yang menjadi tempat pelatihan teologi
dengan pendekatan pembebasan.
Sementara
itu ada beberapa penentangan karena ketakutan dipolitisasinya iman Kristiani,
dan penggunaan paham Marxis dalam menganalisa struktur sosial masyarakat
kapitalis dalam Teologi Pembebasan.
2. 4
Magisterium Gereja
Magisterium
Gereja mengawasi perkembangan teologi baru ini dengan ketat, tetapi jarang
campur tangan di dalamnya, dan dengan sangat hati-hati dan bijaksana mendukung
atau menentangnya. Sinode Uskup II (1971) menunjukkan jejak Teologi Pembebasan.
Gemanya menjadi lebih kuat pada Sinode Uskup III (1974), dan memuncak dalam Evangelii Nuntiandi oleh Paus Paulus VI.
Magisterium juga telah menghasilkan “Instruksi atas Beberapa Aspek Teologi
Pembebasan” dengan mengawaskan bahaya Marxisme dalam prinsip teologi.
Sementara
itu, Magisterium Gereja Amerika Latin dalam Konferensi-konferensi para Uskup
II, menyampaikan pernyataan Gereja “untuk mendengarkan tangisan kaum miskin dan
menjadi penerjemah penderitaan batin mereka”. Secara umum tujuan umum dari
Magisterium Gereja (baik oleh Paus maupun oleh Sinode para Uskup) telah
mengenal aspek positif Teologi Pembebasan, khususnya yang bertalian dengan kaum
miskin dan pembebasan mereka guna membawa pesan Yesus ke dunia.
3.
Trinitas dalam Teologi Pembebasan Leonardo Boff
Iman Kristen mengakui persekutuan Tiga
Pribadi kekal yakni Bapa, Putra dan Roh Kudus.[9]
Persekutuan ini merupakan esensi Tuhan dan juga daya dinamis dari segala
ciptaan. Tidak ada sesuatu yang ada untuk dirinya sendiri. Segala sesuatu
senantiasa dalam relasi dengan yang lain, hidup dalam koeksistensi dengan yang
lain, oleh yang lain, dan dalam yang lain. Trinitas yang ada bersama dan hidup
bersama dari Bapa, Putra dan Roh Kudus menjadi dasar dan prototipe dari
persekutuan universal.[10]
Namun kenyataan menunjukkan bahwa realitas ini dilupakan dalam masyarakat dan
gereja.[11]
3. 1
Masalah Politik - Religius bagi Pengalaman Hidup Iman Trinitarian
Dalam
ranah politik, otoritarianisme politik merupakan realitas konkret dalam sejarah
guna pemusatan kekuasaan. Pemerintahan
sipil dengan monarkismenya telah menciptakan monopoli kekuasaan. Ideologi
diciptakan oleh fenomena politik dengan satu Tuhan, satu raja, dan satu hukum. Ini pada kenyataannya mempengaruhi Gereja, di
mana kita mengenal ungkapan: satu Tuhan, satu Gereja yang merepresentasikan
Kristus; untuk seluruh dunia ada paus, di keuskupan ada uskup, dan di komunitas
lokal ada pastor. Dengan demikian, organisasi koeksistensi sosial yang berdasar
pada pemusatan kekuasaan tidak menunjukkan pengalaman akan Tuhan sebagai
persekutuan. [12]
Dalam
ranah religius, kita menyaksikan fenomena seperti dalam ranah politik di atas
di mana ada pemusatan kekuasaan suci melalui gambaran Imam Agung atau Pontifex Maximus. Konsep hierarki dalam
Gereja Katolik Roma telah menghasilkan ide unitarian. Dogma boleh saja
mengajarkan bahwa Allah yang benar adalah persekutuan dari tiga pribadi ilahi,
namun kesatuan antara Tiga Pribadi Ilahi seharusnya kesatuan esensi Tuhan yakni
hidup, cinta, dan persekutuan. Gagasan unitarian dirasa telah menghancurkan
pengalaman misteri Trinitarian. Pribadi ilahi disembah sebagai Allah yang
terpisah dari Pribadi yang lain.[13]
Gagasan
tentang Bapa berdasar pada mentalitas kebudayaan agraris. Dalam masyarakat patriarkat,
Tuhan dihadirkan pertama-tama sebagai yang mahakuasa, Bapa yang mengetahui
segala sesuatu, yang mengadili hidup dan mati. Di sana tidak ada tempat bagi
Putra. Putra dan Roh Kudus dihormati sebagai yang bergantung pada Bapa
(subordinasionisme).[14]
Putra
ada dalam relasi horizontal yang menonjol. Dia dihadirkan sebagai Pemimpin, Aktivis
yang mempunyai komitmen, Figur Karismatik, dan Penggerak masa. Dalam konteks
ini figur Kristus dihormati sebagai Guru, Saudara, Kepala dan Pemimpin kita.
Kristosentrisme ini menjadi Kristomonisme, dalam mana Kristus dilihat bukan diutus
oleh Bapa atau Kristus yang tidak mempunyai Roh Kudus.[15]
Dan
akhirnya Roh Kudus dibangun secara khusus di antara kelompok karismatik, dalam
lingkup pergaulan umum atau di antara kelompok elit sosial. Ini menjadi tanda
antusiasme dan kreativitas spiritual. Dalam pengalaman ini, berlaku interioritas
yang merugikan dan mengabaikan dimensi sejarah karena memiskinkan pembebasan
integral. Dalam keseluruhan dipahami bahwa Bapa tidak pernah bersama Putra
dalam Roh Kudus. Seharusnya menurut Boff, Putra ada dalam Bapa oleh Roh Kudus.
Roh Kudus menghubungkan Bapa kepada Putra dan dalam Roh Kudus keduanya
dipersatukan.[16]
3. 2
Misteri Trinitas dalam Perspektif Amerika Latin
Teologi
lahir dari realitas hidup umat beriman. Karena teologi lahir dari realitas
tersebut, teologi seharusnya memberikan warta gembira bagi manusia dalam
situasi di mana mereka hidup. Di Amerika Latin, tantangan penting datang dari
orang-orang miskin. Pertanyaan mendasar adalah apakah artinya iman Trinitas
bagi orang miskin? Hal ini melampaui kebenaran dogmatis, karena merupakan
aktualisasi eksistensial dari misteri persekutuan, supaya orang-orang secara
konkret terbantu untuk hidup dalam kemanusiaan mereka secara penuh dan bebas.[17]
Bagi
iman Kristen, terdapat dua garis refleksi di dalamnya. Pertama dimulai dengan iman Trinitarian dan merencanakan pengertian
yang bergerak kepada iman personal dan hidup sosial. Kedua dimulai dengan realitas personal dan sosial dan bertanya
untuk apa menyampaikan kenyataan ini kepada gambaran dan kesamaan dengan Trinitas;
untuk apa menyampaikan pertentangan dalam realitas masyarakat, dengan sebuah
persekutuan di antara perbedaan; dan akhirnya apakah realitas konkret
mengizinkan sebuah pengalaman misteri Trinitarian. Orang percaya bahwa Tiga
Pribadi Ilahi adalah sederajat dalam relasi persekutuan hidup dan cinta. Dalam
realitas Amerika Latin, begitu besar perubahan individu dan realitas sosial.
Realitas ini dibutuhkan untuk menghadirkan sakramen Trinitas suci. Di sini akar
Trinitarian dari iman Kristen mentransformasi masyarakat. Usaha merubah
masyarakat penting sebab realitas iman Trinitarian merupakan prototipe dari
segala yang ada, dan bahwa realitas tertinggi ini merupakan persekutuan absolut
dari Tiga Realitas yang berbeda, yang memiliki kesamaan martabat, dengan cinta
dan komunikasi timbal-balik. Lebih lanjut, kita menginginkan masyarakat kita,
realitas yang kita lihat, dapat berbicara kepada kita dari Trinitas egalitarian kepada organisasi
komunitarian, dengan memberikan sebuah pengalaman tentang Tiga Pribadi Ilahi.[18]
3. 3 Data
Normatif Iman Trinitarian
3.3.1
Dua Tangan Bapa: Putra dan Roh Kudus
Yesus
secara konkret mewahyukan siapakah Allah itu. Allah adalah Tiga Pribadi Ilahi,
yang dalam nama ini semua orang percaya dan dibaptis. Dalam pengertian ini, Yesus sungguh menjadi
sumber bagi rumusan Gereja ini. Yesus mewahyukan misteri Trinitarian.
BAPA:
Kita mengetahui dari Injil bahwa Yesus menyebut Allah sebagai Bapa (Abba). Bapa memiliki kebaikan dan
pengampunan yang tak terbatas. Pengalaman ini melampaui sebuah ajaran. Ini
merupakan praktek pembebasan nyata yang merupakan hadiah bagi orang-orang
miskin dan terbuang, orang yang tersesat dan berdosa. Hubungan Yesus dengan
Bapa menunjukkan sebuah jarak dan perbedaan khusus, dan ada pula sebuah
intimitas yang mendalam. Perbedaan diwahyukan dalam kenyataan bahwa Yesus
berdoa dan memohonkan kehadiran Allah. Intimitas ditunjukkan dengan jelas dalam
nama untuk Tuhan sebagai Bapa.[19]
PUTRA:
Yesus mewahyukan diri-Nya sebagai Putra Allah. Dia berkarya sebagai Putra Allah.
Dalam seluruh perbuatan-Nya, Yesus memperlihatkan otoritas yang mengutus-Nya.
Dia menghadirkan Bapa ke dunia, dan Dia membuat Bapa dapat dilihat dalam perbuatan
baik dan pengampunan. Yesus mengatakan bahwa Dia dan Bapa adalah satu. Ini
menunjukkan realitas partisipasi dan persekutuan timbal-balik. Yesus juga
menunjukkan kehadiran Roh Kudus, sebuah ungkapan hidup baru dari persekutuan
yang kuat di antara Pribadi-pribadi Ilahi.[20]
ROH
KUDUS: Roh Kudus adalah Allah. Roh adalah daya ilahi. Roh Kudus hadir dalam
penciptaan dan sejarah. Daya dan kehadiran ilahi ini secara gradual
memperlihatkan otonomi, sementara senantiasa dalam “relasi”. Demikian
diperlihatkan sebagai Roh Putra, Roh yang memampukan kita mengatakan Abba, ya
Bapa, Roh yang tinggal dalam kita seperti berdiam dalam Bait Allah.[21]
3.3.2 Rasio
Manusia dan Misteri Tinitarian
Kristianitas
awal mengungkapkan iman trinitarian dalam doxology
(doa-doa pujian), sakramen-sakramen (Baptis dan Ekaristi), dan pengakuan iman
awal. Perayaan dan iman ini kemudian direfleksikan. Hasil refleksi dari dua realitas
ini melahirkan Doktrin Trinitarian di kemudian hari. Refleksi terus berkembang
sampai lahirlah rumusan-rumusan sesat seperti modalisme, subordinationisme, dan
tritheisme.[22]
Gagasan
iman Trinitarian berlanjut dalam refleksi, diskusi, dan konsili ekumenis. Dalam
kenyataannya lahirlah beragam bahasa yang berbeda guna mengungkapkan iman Trinitarian
ini, seperti: natura atau esensi atau substansi, person atau hypostasis, prosesi, relasi, perichoresis
dan misi.[23]
Perumusan
pun berbeda antara teolog yang berbahasa Yunani (memulainya dengan pribadi Bapa
sebagai sumber dan asal semua kekudusan. Bapa menurunkan Putra dan Roh kudus. Di
dalamnya mengandung bahaya subordinationisme), Latin (memulainya dengan satu
natura Ilahi, yakni Bapa. Bapa menurunkan Putra, dan relasi cinta antar
keduanya hadirlah Roh Kudus. Di dalamnya terkandung bahaya modalisme yang
menekankan perbedaan antara pribadi ilahi), dan teolog modern (menekankan
relasi antar Pribadi Ilahi. Tiga Pribadi Ilahi adalah subyek yang tidak
terbatas dari satu persekutuan, atau tiga pecinta dalam cinta yang sama). Boff
sendiri termasuk dalam kategori terakhir, yang menekankan partisipasi,
persekutuan dan koeksistensi. Orang-orang miskin menemukan inspirasi dalam
Trinitas kudus ini.[24]
3. 4
Konsep Pembebasan Trinitas
Realitas
Amerika Latin mengundang kita untuk mengalami dan merefleksikan misteri Trinitarian
sebagai sebuah misteri persekutuan di antara Pribadi-pribadi yang berbeda. Kita
melihat fakta Kitab Suci bahwa Allah adalah Bapa, Putra, dan Roh Kudus dalam
persekutuan. Hanya Tuhan saja yang ada sebagai Pribadi Trinitas. Kesatuan Ilahi
adalah persekutuan; Pribadi yang lain ada secara total, berkomunikasi secara
total dengan Dua Pribadi lain.[25]
Persekutuan
berarti hadir dan terbuka bagi yang lain tanpa reservasi untuk diri sendiri. Dengan
mengatakan bahwa Tuhan adalah persekutuan berarti bahwa Bapa, Putra, dan Roh
Kudus pernah bersama, hadir bersama dan secara tetap saling memandang dari
wajah ke wajah. Ini bisa dikaitkan dalam hidup manusia. Hidup adalah
spontanitas dalam proses memberi dan menerima, mengerti dan menyerahkan hidup
pribadi bagi yang lain. Kehadiran merupakan intensifikasi dari eksistensi. Ini berarti bahwa hidup bagi yang
lain dan menjamin hidup orang lain.
Hal
ini terjadi dalam kasus Trinitas. Pribadi Ilahi ada bagi yang lain, bersama
yang lain, dan dalam yang lain. Kita memahaminya sebagai sebuah persekutuan;
persekutuan nyata yang menghasilkan persekutuan Ilahi. Hidup adalah esensi
Allah. Hidup adalah persekutuan memberi dan menerima. Ini adalah persekutuan
cinta. Persekutuan dan cinta adalah esensi dari Allah Trinitas.[26]
Untuk
memahami realitas ini, teologi diinspirasi oleh terminologi dari St. Yohanes
Damaskus: perichōrēsis. Terminologi
ini berarti: 1) aksi keterlibatan
seorang pribadi kepada dua pribadi lainnya, dan 2) sebagai sebuah akibat dari interpenetrasi, satu pribadi hidup
dan tinggal dalam yang lainnya. Karena alasan perichoresis di antara pribadi-pribadi ilahi ini, relasi antar
mereka selalu rangkap tiga (triple).
Jadi Bapa diwahyukan oleh Putra dalam Roh Kudus. Putra mewahyukan Bapa dalam
kekuatan Roh Kudus. Dan akhirnya Roh Kudus merupakan “hasil” dari Bapa dan
Putra. Dalam kesadaran ini, Roh Kudus berasal dari Bapa melalui Putra, dan sebagai
Pribadi, Putra mengakui diri-Nya dalam Bapa oleh cinta Roh Kudus. Tiga Pribadi
ini kekal, sederajat, dan tak terbatas. Gagasan ini membolehkan kita mengatakan
bahwa Tiga Pribadi saling berelasi, dan relasi hidup mereka merupakan
persekutuan kekal. Oleh karena itu ada satu Tuhan: Allah-Trinitas.[27]
Dengan
demikian misteri Trinitarian mengundang kita untuk membentuk komunitas sebagai satu keluarga dalam mana
perbedaan menjadi hal yang positif. Seperti kekristenan mendasarkan komunitas
Gereja dalam: Trinitas kudus sebagai komunitas terbaik. Gereja merupakan communitas fidelium (persekutuan umat
beriman). Setiap anggota memberi atau menerima. Komunitas dibentuk oleh
pengalaman hidup bersekutu, di mana setiap orang saling menerima dan memberi
bagi yang lain.[28]
3. 5
Pribadi yang Berbeda
3.5.1
Bapa: Misteri yang Tak Terpahami
Pribadi
Bapa merupakan dasar misteri dan tak kelihatan. Bapa ada sejak kekal. Pribadi
Bapa ada bukan karena Dia menciptakan segala sesuatu, tetapi karena Bapa mengutus
Putra dalam Roh Kudus. Bapa adalah dasar dari semua kekerabatan, dasar dari
persaudaraan dan persaudarian. Tiga Pribadi Ilahi ada bersama sejak kekal.
Penting untuk diingat bahwa dalam persekutuan Trinitarian tidak ada Pribadi
yang ada sebelum, sesudah, lebih tinggi, atau lebih rendah dari yang lain. Tiga
Pribadi Ilahi adalah sederajat, bersama sejak kekal, dan saling mencintai.[29]
Yesus
menerima segala sesuatu dari Bapa. Dia mengalami intimitas yang mendalam dengan
Bapa.[30]
Yesus melakukan apa yang dilakukan Bapa. Atas realitas ini, Yesus memiliki
komitmen kepada yang miskin dan menderita. Dia menunjukkan pengampunan. Seperti
Bapa yang bekerja sampai hari ini, Yesus bekerja untuk menunjukkan Bapa itu.
Dia menghadirkan Kerajaan Allah bagi semua orang, dengan menjadikan semua orang
sebagai saudara dan saudari dalam Allah sendiri.[31]
Yesus
dalam karya-Nya melanjutkan misi penciptaan dan keselamatan manusia yang
diterima dari Allah sendiri. Penciptaan di sini harus dipahami sebagai buah
dari persekutuan cinta antara Bapa dan Putra. Kenyataan ini mengharuskan kita
untuk mengakui bahwa kita menerima segalanya dari Allah. Konsekuensinya kita
dituntut untuk melanjutkan penciptaan dan karya keselamatan itu dalam dimensi
iman Trinitarian.[32]
3.5.2
Putra: Misteri Komunikasi dan Pembebasan Integral
Putra
adalah tanda absolut dari Bapa. Dia adalah gambar yang kelihatan dari Bapa yang
tak terpahami. Putra diutus oleh Bapa dan berinkarnasi oleh kekuatan Roh Kudus.
Hidup-Nya, praksis pembebasan-Nya, perjuangan-Nya terhadap kekuasaan yang
menindas, kelembutan-Nya bagi yang terbuang, penderitaan-Nya, kematian dan
kebangkitan-Nya mewahyukan Bapa dalam cara yang terbatas. Dia mengadopsi sikap
mengampuni dari Bapa. Dia menunjukkan persekutuan dengan menjadikan kita
sebagai putra-putri dan saudara-saudari Allah.[33]
Yesus
tidak hanya berelasi dengan Bapa tetapi juga dengan Roh Kudus. Roh Kudus
menjadi kekuatan keputraan-Nya. Roh Kudus menunjukkan realitas inkarnasi, atau
dengan perkataan lain Roh Kudus menghadirkan kemanusiaan Putra.[34]
Keterangan
ini menunjukkan siapakah Yesus itu. Yesus mewahyukan siapakah Bapa itu. Dia
adalah mediator dan pelaksana (executor)
rencana Allah. Yesus adalah Putra karena Dia mengomunikasikan cinta Allah
kepada semua manusia, teristimewa bagi para pendosa yang terbuang.[35]
3.5.3
Roh Kudus: Penggerak Ciptaan kepada Pemerintahan Trinitas
Roh
Kudus merupakan kekuatan persekutuan dari segala yang ada. Secara khusus Roh
Kudus mengingatkan kita akan Yesus. Dia memberikan arti baru praksis
pembebasan. Roh Kudus juga adalah prinsip pembebasan. Di mana ada Roh Kudus, di
sana ada kemerdekaan. Dan di mana ada kemerdekaan, di sana ada rahmat yang
berbeda. Roh Kudus menjaga setiap perbedaan dan memeliharanya dalam
persekutuan. Dan akhirnya Roh Kudus menuntun kembali warta eskatologis. Dalam
realitas eskatologi ini semua dituntun kepada persekutuan dengan Allah Trinitas,
sehingga keinginan Allah Trinitas menjadi kenyataan di mana “semua dalam semua”
dan “segala sesuatu dalam segala sesuatu”.[36]
Misi
Roh Kudus adalah mengembangkan dan menyatukan, membuat perbedaan dan mempersatukannya. Roh Kudus berkarya
dalam dunia. Karya Roh Kudus mengalir dalam karya manusia, memberi manusia kekuatan dan membuatnya dengan bebas berkarya.
Roh Kudus berkarya dalam orang-orang miskin dan dalam sakramen-sakramen
teristimewa dalam Sakramen Krisma dan Ekaristi. Dan akhirnya Roh Kudus
menyatukan semua keberagaman dari semua manusia (pria-wanita, proses sejarah, Gereja,
dan hidup yang mengalirkan rahmat).[37]
3. 6
Sakramen-sakramen Trinitas
Untuk
mendekatkan misteri Trinitas, beberapa analogi dapat dipakai. Pertama: pribadi manusia. Bapa tampak
dalam dimensi manusia yang adalah misteri, Putra dalam inteligitas yang
menghubungkan semua misteri manusia, dan Roh Kudus dalam cinta yang menyatukan
semuanya. Kedua: Keluarga manusia.
Manusia, laki-laki dan perempuan terbuka satu sama lain dan membentuk keluarga.
Di dalamnya ada bapa, ibu dan anak-anak. Mereka berbeda satu sama lain, tetapi
semuanya diikat oleh cinta. Mereka adalah tiga, tetapi mereka adalah satu
persekutuan hidup. Di sini ada tiga pribadi berbeda, yang menuju sebuah hidup
dinamis, cinta, dan persekutuan yang utuh. Ketiga:
masyarakat manusia. Setiap masyarakat dibangun atas tiga kekuatan dasar yakni
ekonomi, politik, dan budaya. Ekonomi mengatur kebutuhan hidup bersama. Politik
mengatur relasi manusia sebagai bagian dari sejarah. Kebudayaan mengekspresikan
kemanusiaan. Setiap masyarakat dibangun, dikonsolidasi, dan dikembangkan oleh koeksistensi
dan interpenetrasi dari tiga bidang ini. Ketiganya selalu bertindak bersama.[38]
4.
Penutup
Refleksi
atas realitas Amerika Latin telah melahirkan Teologi Pembebasan. Dua realitas
ini menjadi dasar bagi teologi untuk berbicara tentang iman Trinitarian. Iman Trinitarian
dipahami sebagai sebuah persekutuan, yang di dalamnya ada hidup, cinta dan pemberian
diri. Dengan demikian iman Trinitarian menjadi model pembebasan terhadap segala
realitas yang membelenggu kemanusiaan. Dalam iman Trinitarian ada persekutuan
yang saling membangun, saling mencintai, saling memberi diri, saling
memberdayakan dan bukannya saling menindas dan meniadakan. Atas dasar ini,
semua manusia diajak untuk membangun sebuah peradaban manusia yang saling
menerima dan memberi, saling mencintai dan mengasihi, saling memberdayakan dan
membangun, serta saling berbagi dalam kasih yang berdasar pada persekutuan Allah
Trinitas sendiri. Perbedaan dalam keberagaman bukan penghalang dalam membangun
kebersamaan, tetapi menjadi kekayaan untuk membangun persaudaraan manusia yang
saling menerima dan saling mencintai.
[1] Leonardo
Boff lahir pada
tanggal 14 Desember 1938 di Concordia, Santa Catarina, Brasil. Dia adalah seorang teolog, filsuf dan penulis, yang terkenal karena dukungan aktif terhadap hak-hak
orang miskin. Dia saat ini adalah guru besar emiritus bidang Etika, Filsafat Agama dan Ekologi di Universitas Rio de Janeiro.
Boff masuk Ordo Fransiskan pada tahun 1959 dan ditahbiskan menjadi
imam Katolik pada tahun
1964. Dia menghabiskan tahun-tahun berikutnya untuk belajar teologi dan filsafat di Universitas Munich, dan meraih gelar doktor pada tahun 1970. Tesis doktoralnya berjudul Die Kirche als der Sakrament im
Horizont Welterfahrung yang menguraikan tentang Gereja sebagai tanda kudus
dan ilahi dalam dunia sekuler dan dalam proses pembebasan kaum tertindas. Ia
telah menulis lebih dari 100 buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa
utama dunia. Pada tahun 2001 ia dianugerahi Right Livelihood Award di Parlemen Swedia.
Ia telah menerima gelar doktor
kehormatan dalam bidang politik dari Universitas Turin dan dalam bidang teologi dari Universitas Lund. Ia juga dihormati dengan
berbagai penghargaan di Brasil dan berbagai negara lainnya, untuk dan atas nama
perjuangan terhadap hak asasi manusia bagi mereka yang lemah, tertindas dan
terpinggirkan.
Bersama Gustavo Gutierrez ia menjadi salah seorang yang
paling dikenal dalam gagasan tentang Teolog Pembebasan. Ia menghadirkan refleksi yang
berusaha mengartikulasikan kemarahan terhadap penderitaan dan marginalisasi dengan perjanjian wacana iman, yang melahirkan Teologi Pembebasan.
Ia tetap menjadi tokoh
kontroversial dalam Gereja Katolik, terutama untuk kritik tajamnya terhadap
hierarki gereja, yang ia lihat sebagai "fundamentalis". Dia selalu
menjadi pembela hak asasi manusia, membantu merumuskan perspektif Amerika Latin baru dengan "hak hidup dan cara
mempertahankan martabat mereka ". Karya para teolog pembebasan membantu
mengarahkan pembentukan lebih dari 1.000.000 "komunitas umat basis
gerejawi" (Comunidades Eclesiais
de Base atau CEBs) di kalangan umat Katolik di Brasil dan di Amerika Latin.
Pergerakan Teologi Pembebasan juga mengkritik peranan Gereja Katolik Roma dalam tatanan sosial dan
ekonomi yang menindas masyarakat. (bdk. LG Bab 1, No. 8).
Otoritas Gereja Katolik Roma
tidak menghargai kritiknya terhadap kepemimpinan gereja. Otoritas juga merasa
dukungannya terhadap hak asasi manusia telah "mempolitisasi segala sesuatu"
dan menuduhnya Marxisme. Pada tahun 1985, Kongregasi Ajaran Iman, pada saat itu
diketuai oleh Kardinal Joseph Ratzinger membungkamnya selama satu tahun karena
bukunya Church: Charism and Power. Dalam
salah satu wawancara ia menuduh dan menyebut Kardinal Ratzinger sebagai
"terorisme religius".
Ia hampir dibungkam lagi pada
tahun 1992 oleh Gereja Roma, untuk mencegahnya berpartisipasi dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro, yang akhirnya membuatnya
meninggalkan Ordo Fransiskan dan pelayanan imamnya. Sebagian besar hidupnya
Boff telah bekerja sebagai profesor di bidang teologi, etika dan filsafat di seluruh Brasil dan juga sebagai dosen di banyak
universitas di luar negeri seperti Universitas Heidelberg, Universitas Harvard, Universitas Salamanca, Universitas Lisabon, Universitas Berrcelona, Universitas Lund, Universitas Louvain, Universitas Paris, Universitas Oslo, Universitas Torino dan lain-lain [Lihat Leonardo
Boff dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Leonardo_Boff;
bdk. John Bowden, Who’s Who in Theology,
(New York: Crossroad, 1991), hlm.20.]
[3] Leonardo Boff dan Clodovis Boff, Memperkenalkan
Teologi Pembebasan, (judul asli: Introducing
Liberation), diterjemahkan oleh Penerbit Bina Media Perintis (Medan: Bina
Media Perintis, 2009), hlm. 95-110; bdk. Alistair Kee, “Liberation Theology”
dalam Alan Richardson dan John Bowden (de.), The Westminster Dictionary of Christian Theology (Philadelphia: The
Westminster Press, 1983), hlm. 328-330.
[4] Di antara mereka dapat disebut misalnya: Bartolome de Las Casas, Antonio de
Montesiros, Antonio Vieram, Bruder Caneca dan lain-lain yang mewakili
tokoh-tokoh rohaniwan.
[5] Gustavo Gutiērrez menyebut dasar Teologi
Pembebasan yakni komitmen kepada orang miskin, mereka yang tanpa identitas (non-person). Realitas kemiskinan dan
penindasan menjadi dasar lahirnya teologi ini. Selain itu pula dasarnya adalah
Teologi Politik yang digagas oleh Moltman dan Metz, yang sangat menekankan
dimensi politis iman kristiani [Lihat H. M. Conn, “Liberation Theology” dalam
Sinclair B. Ferguson dan David F Wright (ed.), New Dictionary of Theology (Leicester: Inter Varsity Press, 1988),
hlm. 388.
[6] Metode Teologi Pembebasan adalah: 1) Orientasi: pembebasan bagi yang miskin
dan tertindas, 2) Ruang lingkup: situasi konkret masyarakat, 3) Metode:
refleksi atas praksis [H. M. Conn, “Liberation ...”, hlm. 389.
[7] Gustavo Gutiérrez Merino, O.P. (lahir di Lima, Peru, 8 Juni 1928; umur 81 tahun)
adalah seorang teolog Peru
dan imam Dominikan yang dianggap sebagai pendiri Teologi Pembebasan. Ia menjabat
sebagai Profesor John Cardinal O'Hara dalam bidang Teologi di Universitas Notre Dame. Ia pernah menjadi
profesor di Universitas
Katolik Kepausan di Peru dan profesor tamu di banyak universitas terkemuka
di Amerika Utara dan Eropa. Ia adalah anggota Akademi Bahasa Peru, dan pada
1993 ia dianugerahi Legiun Kehormatan oleh
pemerintah Perancis untuk karya-karyanya. Ia juga telah menerbitkan dan menjadi
anggota dewan direktur dari jurnal internasional, Concilium.Gutiérrez pernah
belajar kedokteran dan sastra (Peru), psikologi dan filsafat (Leuven), dan mendapat gelar doktor dari Institut
Pastoral d'Etudes Religieuses (IPER), Université Catholique di Lyon.
Pendiri teologi pembebasan ini dilahirkan di Peru, dan menghabiskan
sebagian besar masa hidupnya dengan hidup dan bekerja di antara orang-orang
miskin di Lima. Karya
terobosan Gutiérrez, A Theology of Liberation: History, Politics,
Salvation (1971) (“Suatu Teologi Pembebasan: Sejarah, Politik,
Keselamatan”), menjelaskan pemahamannya tentang kemiskinan Kristen sebagai
suatu tindakan solidaritas penuh cinta kasih dengan kaum miskin maupun sebagai
protes pembebasan melawan kemiskinan.
Menurut Gutiérrez, “pembebasan”
sejati mempunyai tiga dimensi utama: Pertama, ia mencakup pembebasan politik
dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan.
Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marjinal, mereka yang
terinjak-injak dan tertindas dari “segala sesuatu yang membatasi kemampuan
mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat”. Ketiga,
teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan
kembali hubungan dengan Allah dan dengan orang-orang lain.
Teologi pembebasan dan Gutiérrez
telah berulang kali diperiksa secara cermat oleh Paus. Bukunya. A Theology
of Liberation: History, Politics, Salvation dibahas oleh Kardinal (saat
itu) Ratzinger dan ditemukan
mengandung banyak gagasan yang dianggap mengganggu.
Pada September 1984, sekelompok
uskup Peru dipanggil ke Roma untuk mendengar langsung kecaman terhadap
Gutiérrez dari Vatikan, namun para uskup itu tetap mendukung Gutiérrez. Meskipun
Gutiérrez sendiri tidak dikenai sanksi, banyak teolog pembebasan lainnya
mendapatkan sanksi kepausan. Karena hubungan antara para pengikut teologi
pembebasan dan kelompok-kelompok komunis seperti Sandinista
(umumnya karena orang-orang miskin dilihat sebagai calon potensial pemberontak
komunis) banyak imam yang berpikiran pembebasan dibunuh di negara-negara
Amerika Selatan pada tahun 1980-an, yang paling terkenal di antaranya adalah Uskup Agung
Oscar Romero [Lihat Gustavo Gutiérrez dalam Robert McAffe Brown, Gustavo Gutiérrez: Makers of Comtemporary
Theology (Atlanta: Pon Knot Press, 1980), hlm. 20-24.]
[8] Vatikan dalam sebuah
instruksi menyatakan dukungannya kepada teologi ini dalam kaitannya dengan
usaha merefleksikan pembebasan atas realitas kemiskinan. Namun demikian, ada
juga perlawanan karena unsur Marxisme yang dipakai sebagai alat analisis sosial
dan fokus atas sistem ekonomi sebagai faktor utama dalam situasi penindasan
[Lihat H. M. Conn, “Liberation ...” , hlm. 389.]
[9] Leonardo Boff, Trinity and Society
(judul asli: A Trindande, a Sociedade e a
Libertaçāo), diterjemahkan oleh Paul Burns (New York: Burn and Oates,
1988), hlm. 9.
[11] Leonardo Boff, “Trinity” dalam I. Ellacuria dan
J. Sobrino, Mysterium Liberationis,
(Maryknoll: Orbis Books, 1993), hlm. 389.
[12] Leonardo Boff, “Trinity” ..., hlm. 390; bdk. Leonardo Boff, Trinity ..., hlm. 20-23.
[13] Leonardo Boff, “Trinity” ..., hlm. 390-391; bdk. Leonardo Boff, Trinity ..., hlm. 20-23.
[14] Leonardo Boff, “Trinity” ..., hlm. 391; bdk. Leonardo Boff, Trinity ..., hlm. 20-23.
[15] Leonardo Boff, “Trinity” ..., hlm. 391.
[16] Leonardo Boff, “Trinity” ..., hlm. 391.
[17] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 392. Untuk memahami misteri Trinitas dalam Teologi Pembebasan
haruslah dilihat dalam realitas Amerika Latin yang bertalian langsung dengan
situasi kemiskinan dan penderitaan [Lihat Leonardo Boff, Trinity ..., hlm. 6.]
[18] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 392; bdk. Leonardo Boff, Trinity
..., hlm. 8.
[19] Leonardo Boff, “Trinity” ..., hlm. 393; bdk. Leonardo Boff, Trinity ..., hlm. 165.
[20] Leonardo Boff, “Trinity” ..., hlm. 394; bdk. Leonardo Boff, Trinity ..., hlm. 181-182.
[21] Leonardo Boff, “Trinity” ..., hlm. 395; bdk. Leonardo Boff, Trinity ..., hlm. 198--207.
[22] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 395.
[23] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 395-397.
[24] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 397-398.
[25] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 399.
[26] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 399.
[27] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 400.
[28] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 400-401.
[29] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 401; bdk. Leonardo Boff, Trinity
..., hlm. 165.
[31]
Leonardo Boff, Trinity ..., hlm. 166-168; bdk. Leonardo Boff, Jesus Christ Liberator: A Critical Chrristology of Our Time, (judul
asli: Jesus Christo Libertador. Ensaio de
Christologia Crītaca para o nosso Tempo), diterjemahkan oleh Patrick Hughes
(London: SPCK, 1981), hlm. 75-79, 282-286.
[33] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 402; bdk. Leonardo Boff, Trinity
..., hlm. 180-181.
[36] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 402-403; bdk. Leonardo Boff, Trinity
..., hlm. 192-196.
[38] Leonardo Boff, “Trinity”
..., hlm. 403-404.