SITUASI SOSIAL DAN MASALAH-MASALAH TEOLOGIS
DI PAROKI
ST. FRANSISKUS XAVERIUS NDONDO
Saya menjalani TOP di Paroki St. Fransiskus Xaverius
Ndondo. Paroki ini termasuk dalam wilayah Keuskupan Agung Ende. Dan dalam
pemerintahan, paroki ini termasuk dalam wilayah
pemerintahan Kabupaten Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Paroki ini berada
cukup jauh dari pusat kota dan masih jauh pula dari kemajuan, karena kurang
mendapat perhatian dari pemerintah daerah.
Situasi Sosial
Secara umum ada beberapa hal penting yang bertalian dengan
situasi sosial di paroki ini. Namun demikian, saya hanya menyajikan beberapa
hal pokok yang bersentuhan langsung dengan kehidupan menggereja. Hal-hal yang
dimaksud adalah, pertama, mayoritas
umat masih tergolong dalam masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Mereka
umumnya bekerja sebagai petani dengan komoditi utama adalah jambu mente,
kelapa, dan lain-lain. Dalam mengelola pertanian, mereka masih menggunakan
cara-cara tradisional. Selain bertani, mereka juga beternak sapi, babi, dan
kambing. Hanya saja binatang-binatang piaraan ini masih dibiarkan berkeliaran
tanpa perhatian yang memadai seperti pembuatan kandang, pemberian makanan, dan
lain-lain.
Kedua,
mayoritas umat hanya mengenyam pendidikan dasar, dan bahkan banyak pula yang
tidak menamatkan pendidikan dasar. Hanya beberapa orang saja yang mencapai
tingkat pendidikan menengah (SMP, SMU) dan perguruan tinggi. Kenyataan ini
ternyata sangat mempengaruhi pola pikir dan cara bertindak dalam kehidupan
sehari-hari. Mereka belum mampu berpikir untuk masa depan. Yang penting adalah
bisa makan hari ini, masa depan adalah urusan lain yang tidak perlu dipikirkan
hari ini.
Ketiga, adat
yang masih mengikat. Masyarakat masih sangat berpegang teguh pada tradisi.
Struktur adat sedemikian kuat sehingga dalam banyak hal masih bergantung kepada
pemimpin adat, mosalaki. Selain itu
pula, mereka masih sangat feodal sehingga dalam banyak hal masih terikat pada
pola pikir primitif dengan kecenderungan melihat masa lalu tanpa melihat
relevansinya di masa kini. Kerap terlontar ungkapan, ”sudah biasa”, dan
bertalian dengan hal baru mereka akan mengatakan, ”tidak biasa”.
Keempat, karena
keterbelakangan ekonomi dan keterikatan pada adat, akhirnya melahirkan sifat
apatis dan mental proyek. Kebanyakan umat kurang melihat skala prioritas dalam
hidup sehingga hanya mau bekerja bila memperoleh upah dari pekerjaannya. Hal
ini juga berlaku dalam kehidupan menggereja. Mereka mau melayani Gereja asal
saja mendapat upah dari pelayanan tersebut.
Kelima,
maraknya perselingkuhan dan kawin pintas (kawin sebelum nikah Gereja). Kedua
hal ini sangat menonjol dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun mayoritas penduduk
beragama Katolik tetapi realitas ini dirasa sebagai hal yang sangat biasa
sehingga bagi mereka bukanlah hal yang asing dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah-masalah Teologis
Melihat realitas di atas, tidak jarang pula beragam
masalah teologis sering muncul ke permukaan. Masalah-masalah tersebut antara
lain, pertama, persoalan ekonomi
membuat Gereja menjadi nomor dua dalam kehidupan umat. Mereka mau melayani
Gereja bila ada sesuatu yang bisa diperoleh dari sana.
Kedua, karena pengaruh adat sedemikian kuat, walaupun
suara pastor dan biarawan-biarawati masih didengar, mereka masih lebih takut
kepada pemangku adat karena dari sana efek berupa sanksi adat terasa akan
mempengaruhi kehidupan dari pada Gereja.
Ketiga, masyarakat masih
terkotak-kotak. Mereka masih menganut prinsip antara pendatang dan penduduk
asli. Di samping itu, gengsi atas nama desa atau lingkungan dirasa begitu
menonjol sehingga koinonia dirasa
cukup lemah. Mereka kuat secara pribadi (keluarga, kampung, desa, lingkungan),
tetapi lemah dalam kebersamaan dan persaudaraan di Gereja.
Keempat, masalah
ortodoksi-ortopraksi. Mereka akan sangat bangga menyebut diri seorang Katolik.
Namun dirasa bahwa kekatolikan mereka masih sangat dangkal walaupun Gereja
Katolik sudah cukup lama berada di tempat ini. Kenyataan ini dipertegas oleh
praksis hidup yang kurang meyakinkan seperti yang telah diuraikan di atas,
teristimewa yang berkaitan dengan perselingkuhan dan kawin pintas.
Kelima, karena pengaruh adat
sedemikian kuat, ditambah lagi rendahnya pendidikan, umat masih sangat kuat
percaya akan roh-roh. Mereka masih percaya bahwa di tempat tertentu ada
penghuninya, dan yang lain lagi sering mencurigai orang-orang tertentu bahwa orang-orang
tersebut mempunyai kekuatan tertentu yang bisa menyakiti atau bahkan mematikan
orang lain.
Keenam, iman yang masih
dicampuri kepercayaan mistis-magis. Kebanyakan umat akan takut kepada pastor
atau biarawan-biarawati bila diancam akan dikutuk. Atau dalam banyak kasus
sering terdengar dari mulut umat yang meminta pastor atau biarawan-biarawati
untuk mengutuki orang tertentu karena hal tertentu.
Refleksi Personal
Dari uraian di atas menjadi jelas situasi sosial dan
masalah-masalah teologis yang menonjol di paroki ini. Kedua hal ini sangat
mempengaruhi kehidupan umat terutama dalam praksis hidup umat beriman. Bila
dicermati lebih mendalam ternyata masih banyak hal yang mesti dibuat untuk
menghadirkan Kerajaan Allah. Umat perlu diberi pengetahuan yang memadai perihal
kekristenan dan bagaimana menghidupinya dalam kehidupan sehari-hari.
Hal lain yang mesti diperhatikan adalah bagaimana
mendamaikan adat dan Gereja. Keduanya mesti berjalan berbarengan tanpa harus
saling mengabaikan. Nilai-nilai luhur budaya mesti dipertahankan, sedangkan
yang berseberangan dengan iman seyogyanya diperbaharui agar tidak tinggal dalam
dosa yang pada akhirnya membawa kebinasaan.
Demikian halnya bagaimana harus mendamaikan usaha
memenuhi kebutuhan ekonomi tanpa harus menomorduakan Gereja. Bertalian dengan
ini, praksis real Gereja untuk membantu perekonomian umat adalah mutlak perlu. Gereja
harus berbuat sesuatu supaya sukacita Kerajaan Allah bisa dirasakan kini dan di
sini, dalam keseluruhan realitas hidup mereka.